Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hukum Pembuktian Perdata

Hukum Pembuktian Perdata
Membuktikan menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Guru Besar FH-UGM mengandung beberapa pengertian:[1]

a) Membuktikan dalam arti logis atau ilmiah
Membuktikan berarti memberikan kepastian mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.

b) Membuktikan dalam arti konvensionil
Membuktikan berarti memberikan kepastian yang nisbi/relatif sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan:
- kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka/bersifat instuitif (conviction intime)
- kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal (conviction raisonnee)

c) Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis
Didalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan adanya bukti lawan.

Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang beperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak.

Pembuktian secara yuridis tidak lain adalah pembuktian ”historis” yang mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkreto. Baik pembuktian yang yuridis maupun yang ilmiah, maka membuktikan pada hakekatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar.

Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.

Berbeda dengan azas yang terdapat pada hukum acara pidana, dimana seseorang tidak boleh dipersalahkan telah melakukan tindak pidana, kecuali apabila berdasarkan buki-bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa, dalam hukum acara perdata untuk memenangkan seseorang, tidak perlu adanya keyakinan hakim. Dalam Hukum Acara Perdata yang penting adalah adanya alat-alat bukti yang sah, dan berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan perkataan lain, dalam hukum acara perdata, cukup dengan kebenaran formil saja.

Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat mengiginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya akan ditolak, sedangkan apabila berhasil, maka gugatannya akan dikabulkan.

Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, untuk dalil-dalil yang tidak disangkal, apabila diakui sepenuhnya oleh pihak lawan, maka tidak perlu dibuktikan lagi.[2]

Beberapa hal/keadaan yang tidak harus dibuktikan antara lain :[3]
- hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diakui
- hal-hal/keadaan-keadaan yang tidak disangkal
- hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diketahui oleh khalayak ramai (notoire feiten/fakta notoir). Atau hal-hal yang secara kebetulan telah diketahui sendiri oleh hakim.[8] Merupakan fakta notoir, bahwa pada hari Minggu semua kantor pemerintah tutup, dan bahwa harga tanah di jakarta lebih mahal dari di desa.

Dalam soal pembuktian tidak selalu pihak Penggugat saja yang harus membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara itu yang akan menentukan siapa diantara pihak-pihak yang berperkara yang akan diwajibkan memberikan bukti, apakah pihak penggugat atau sebaliknya pihak tergugat. Secara ringkas disimpulkan bahwa hakim sendiri yang menentukan pihak yang mana yang akan memikul beban pembuktian. Didalam soal menjatuhkan beban pembuktian, hakim harus bertindak arif dan bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa dan keadaan yang konkrit harus diperhatikan dengan seksama olehnya.

Sebagai pedoman, dijelaskan oleh pasal 1865 BW, bahwa:
Barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana dia mendasarkan suatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-pristiwa itu; sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan peristiwa-peristiwa itu.
I. Dasar Hukum Pembuktian

1. Hierziene Inlandse Reglement (HIR)                                                            
    Stb. 1941 No. 44  (untuk jawa dan Madura)
2. Rechtreglement Buitengewesten (RBg)
    Stb. 1927 No. 227 (untuk luar jawa dan Madura)
3. Reglement op de Burgelijke Rechtvordering (Rv)
    Stb. 1847 No. 52 dan Stb. 1848 No. 63
4. Buku ke-4 KUHPerdata (Stb. 1847 No. 23)
5. Ketentuan setelah Proklamasi Kemerdekaan seperti :
    a. UU No. 14/1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
    b. UU No. 2/1986 tentang Peradilan Umum.
    c. UU No. 14/1985 tentang MA. RI

II. Teori Hukum Pembuktian

1. Teori yang bersifat Subjektif 
Dalil-dalil yang didasarkan pada pelanggaran hak subjektif atau siapa yang menyangkal adanya hak Subyektif harus membuktikan tiadanya hak subyektif tersebut. Menurut teori ini suatu proses perdata itu selalu merupakan pelaksanaan hukum subyektif atau bertujuan mempertahankan hukum subyektif, dan siapa yang mengemukakan atau mempunyai suatu hak harus membuktikannya.

2. Teori yang bersifat Objektif
Dalil-dalil berdasarkan hukum objektif/ UU. Menurut teori ini, mengajukan gugatan hak atau gugatan berarti Penggugat minta kepada hakim agar hakim menerapkan ketentuan-ketentuan hukum obyektif terhadap pristiwa yang diajukan. Maka Penggugat harus membuktikan kebenaran peristiwa yang diajukan dan kemudian mencari hukum obyektifnya untuk dapat diterapkan pada peristiwa itu.

3. Teori Pembuktian Umar Bin Khattab
Teori Pembuktian Umar dapat kita temui dalam Risalah Umar, yaitu risalah yang dikirimkannya kepada Abu Musa Al-Asy’ari r.a., di dalamnya tercantum pedoman  bagaimana seharusnya peradilan dilaksanakan dan bagaimana sikap seorang hakim dalam melaksanakan tugasnya. Teori pembuktian Umar adalah sebagai berikut:[4]
البينة على من ادعى واليمين على من أنكر
Beban pembuktian bagi orang yang menggugat, dan sumpah dibebankan kepada yang digugat.

Risalah Umar secara lengkap dapat dilihat di sini (Risalah Umar Ibn Khattab).


4. Teori yang bersifat Kepatutan 
Kedudukan Penggugat dan Tergugat sama (Equality before the law). Teori ini mengatur tentang bagaimana seharusnya hakim bertindak adil dalam memberikan hak berperkara dalam sidang kepada kedua belah pihak. Hakim tidak diperbolehkan untuk memihak kepada salah satu pihak, seperti  memberikan beban pembuktian kepada salah satu pihak yang tidak sama beratnya dengan pihak lawan.

5. Teori Hukum Acara 
Asas “Audi et Alteram Partem”. Asas audi et alteram partem atau juga asas kedudukkan prosesuil yang sama antara para pihak di hadapan hakim merupakan asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini. Hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukkan para pihak, sehingga para pihak merasa memiliki kans yang sama untuk memenangkan kasus yang dihadapinya.

6. Teori yang bersifat hukum Publik
Menurut teori ini, mencari kebenaran suatu pristiwa dalam peradilan merupakan kepentingan publik. Oleh sebab itu hakim harus diberi wewenang yang lebih besar untuk mencari kebenaran. Di samping itu, para pihak mempunyai kewajiban yang sifatnya hukum publik, untuk membuktikan dengan segala macam alat bukti. Kewajiban ini harus disertai sanksi pidana.
III. Alat Bukti Perdata
Menurut M. Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya Hukum Acara Perdata menyatakan bahwa alat bukti (bewijsmiddel) adalah suatu hal berupa bentuk dan jenis yang dapat membantu dalam hal memberi keterangan dan penjelasan tentang sebuah masalah perkara untuk membantu penilaian hakim di dalam pengadilan. Jadi, para pihak yang berperkara hanya dapat membuktikan kebenaran dalil gugat dan dalil bantahan maupun fakta-fakta yang mereka kemukakan dengan jenis atau bentuk alat bukti tertentu. Hukum pembuktian yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih berpegang kepada jenis dan alat bukti tertentu saja.[5]

Mengenai alat bukti yang diakui dalam acara perdata diatur dalam undang-undang Perdata Pasal 1866 KUH Perdata, Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBg terdiri dari:[6]
- Bukti Tulisan
- Bukti dengan saksi-saksi
- Persangkaan-persangkaan
- Pengakuan
- Sumpah
__________________________
[1] Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta) Ed. 7, 2006.
[2] Retnowulan S dan Iskandar O, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek (Bandung: C.V . Mandar Maju) 2005.

[3] Ibid.
[4] Maktabah Syamilah, Kitab Jaami’ al-Ahadits, Bab Musnad Umar bin al-Khathab, Juz 28 h. 181. 
[5] M. Yahya Harahap, S.H., Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika), cet. 10, 2010, h. 554
[6] Drs. Hari Sasangka, S.H., M.H & Ahmad Rifai, S.H., Perbandingan HIR dengan RBG, (Bandung: Mandar Maju), 2005,   h. 99

Post a Comment for "Hukum Pembuktian Perdata"