Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hak Khiyar dan Kedudukannya dalam Transaksi Ekonomi

Ada tiga pilar dalam transaksi perdagangan: kontrak, pelaku, dan objek kontrak. Masing-masing dari ketiga aspek ini terdiri dari dua bagian. Pelaku kontrak terdiri dari penjual dan pembeli. Objeknya terdiri dari harga dan barang. Shighat terdiri dari penawaran dan penerimaan (Fathimah, 2020). 

Dalam setiap transaksi jual beli terdapat potensi terjadinya ketidakcocokan terhadap barang atau jasa yang sudah disepakati. Misalnya; setelah terjadinya kesepakatan untuk berjual-beli kemudian disebabkan suatu kondisi salah satu pihak atau kedua belah pihak merasa tidak puas dengan barang atau jasa yang sudah diperdagangkan sebelumnya. Untuk menjembatani hal tersebut, Islam menawarkan solusi berupa hak khiyar.

Khiyar secara etimologi berarti pilihan. Secara umum dapat diartikan sebagai hak pilih bagi salah satu pihak atau kedua belah pihak yang bertransaksi untuk meneruskan atau membatalkan transaksi yang telah disepakati (Munif, 2016). Lebih spesifik dapat diartikan sebagai hak bagi penjual dan pembeli untuk meneruskan atau membatalkan kontrak jual beli (Mohd. Murshidi Mohd. Noor, 2013). Menurut pasal 20 ayat 8 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, khiyar adalah hak pilih bagi penjual dan pembeli untuk melanjutkan akad jual beli yang dilakukan, atau tidak melanjutkannya.

Jadi hak khiyar itu ditetapkan dalam islam untuk menjamin kerelaan dan kepuasan timbal balik pihak-pihak yang melakukan jual beli. Setidaknya ada beberapa tujuan dari pensyariatan khiyar dalam praktik jual beli, yaitu:

  1. Dalam hak khiyar terkandung prinsip keadilan, yang merupakan nilai utama dalam Islam, khususnya dalam transaksi jual beli (Elbadriati, 2014).
  2. Penerapan hak khiyar dapat memaksimalkan pencapaian kemashlahatan yang dikehendaki adlam suatu transaksi jual beli (Haroen, 2007).
  3. Penerapan opsi khiyar dapat mencegah potensi kerugian dalam transaksi jual beli (Mohd. Murshidi Mohd. Noor, 2013).
  4. Hak khiyar merupakan upaya preventif terhadap potensi pelanggaran etika jual beli oleh Penjual (Syaifullah, 2014).

Hak-hak konsumen dalam sistim ekonomi Islam sangat diperhatikan dan dilindungi. Dalam konteks fiqh muamalah (hukum ekonomi Islam) kita mengenal beberapa istilah transaksi jual beli yang dilarang oleh syari’at. Transaksi yang mengandung tadlis (penipuan), gharar (spekulasi tinggi) dan yang mengandung unsur kezaliman tidak dibenarkan oleh sistim ekonomi Islam.

Jual beli tadlis adalah praktik jual beli yang didalamnya terdapat tipu daya yang dilakukan oleh produsen terhadap konsumen. Praktik gharar bisa berupa jual beli yang mengandung resiko kerana terdapat spekulasi yang sangat tinggi (gambling) atau perilaku menawarkan sesuatu yang belum jelas dan pasti keberadaannya. Dalam fiqh muamalah dijelaskan bahwa baiʽ gharar adalah jual beli yang di dalamnya terdapat unsur penipuan yang disebabkan ketidakjelasan objek jual beli dan/ atau tidak adanya kepastian dapat terlaksana (Hidayatullah, 2019).

Jual beli najasy adalah jual beli yang dilakukan dengan memanipulasi calon pembeli dengan melibatkan oknum tertentu untuk berakting sebagai pembeli yang menampakkan ketertarikan yang berlebihan terhadap objek yang dijual, sehingga hal itu menarik minat orang lain untuk ikut serta membeli dengan harga yang lebih tinggi (Hadi, 2014). Pada konteks kekinian jual beli najasy ini tampak dalam praktik iklan (endorsement) suatu produk secara berlebihan (Aisyah, 2019), dan/atau testimoni palsu yang sangat berbeda dengan kualitas produk yang sebenarnya. Singkatnya jual beli najasy adalah jual beli yang penuh dengan tipu daya. Jual beli najasy secara eksplisit juga dibahas dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagaimana termaktub dalam Pasal 9 dan Pasal 10.

Pada prinsipnya, hukum Islam membatasi kehalalan suatu transaksi jual beli secara ketat. Setiap transaksi dinyatakan halal dilakukan jika memenuhi unsur-unsur; 1). Barang yang dijual merupakan milik penuh si penjual atau ada pendelegasian dari pemilik yang sah, 2). Barang yang jadi objek transaksi bukanlah sesuatu yang haram, 3). Terlepas dari unsur gharar dan tadlis, dan 4). Tidak ada unsur kezaliman di dalamnya.

Kekhasan pembatasan transaksi halal dalam fiqh muamalah bukan saja memastikan terlindunginya hak-hak konsumen dalam dimensi keduniawian, akan tetapi juga menyangkut dimensi spritual, seperti kehalalan zat suatu produk yang berpengaruh langsung terhadap dimensi ukhrawi. Perlindungan bagi konsumen dalam konteks fiqh juga dapat dilihat dari prinsip Khiyar Majelis, Khiyar ‘Aib, Khiyar Syarat dan Khiyar Ghaban yang diterapkan dalam suatu transaksi jual beli yang sah. Lebih jauh, hukum Islam telah melindungi hak-hak konsumen bahkan semenjak proses tawar-menawar. Adalah suatu perbuatan terlarang bagi seorang penjual untuk menjual barang dagangannya yang sudah ditawar seseorang kepada orang lain, selama pihak penawar yang pertama belum membatalkan penawarannya (Asy- Syaukani, 1994).

Di Indonesia pelaksanaan akad syariah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung nomor 2 tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). KHES terdiri dari 4 bagian; Buku I tentang Subjek Hukum dan Amwal. Buku II tentang Akad, yang terdiri dari 29 Bab. Buku III memuat tentang Zakat dan Hibah, dan Buku IV tentang Akuntansi Syariah. 

Post a Comment for " Hak Khiyar dan Kedudukannya dalam Transaksi Ekonomi"