Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Saat Praktisi Gagal Paham PERMA Mediasi

Lembaga mediasi di Pengadilan merupakan alternatif penyelesaian sengketa non-litigasi yang harus ditempuh oleh setiap pihak yang bersengketa. Pengejawantahan prosedur mediasi di Pengadilan sudah lama digulirkan. Terdapat beberapa aturan yang pernah diterbitkan oleh Mahkamah Agung dalam upaya mengintegrasikan upaya mediasi ke dalam proses beracara, antara lain:

  1. Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai.
  2. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
  3. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
  4. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi potensi penumpukan perkara. Mediasi merupakan salah satu proses lebih cepat dan murah, serta diproyeksikan dapat memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan atau penyelesaian yang memuaskan atas sengketa yang dihadapi. Selain itu institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif). Keseriusan MA dalam menghadirkan hukum yang humanis melalui penyempurnaan rangkaian aturan mediasi di Pengadilan patut diapresiasi.

Mediasi di Pengadilan menghadirkan penyelesaian sengketa secara sederhana, cepat, dan biaya ringan. Ini merupakan salah satu perwujudan semangat Reformasi Birokrasi 2010-2035 yang telah dicanangkan MA. Mutakhir, Perma 1 tahun 2016 membuka ruang bagi mediator non hakim untuk turut andil dalam proses mediasi. Berbekal sertifikat mediator siapa saja dapat mendaftar sebagai mediator di Pengadilan. Asalkan anda layak; memiliki kompetensi dan tersertifikasi oleh lembaga mediasi yang diakui. 

Dibalik cemerlangnya upaya MA dalam optimalisasi mediasi di Pengadilan terdapat beberapa catatan minor. Ironis, tidak sedikit mediator yang abai terhadap peraturan permediasian yang semakin mapan itu. Sikap abai sebagian oknum mediator dan pengemban hukum praktikal dapat dilacak dalam beberapa hal berikut:
  1. Sebagian mediator tidak mematuhi kaidah-kaidah penyusunan laporan mediator dalam melaporkan hasil mediasi kepada Majelis Hakim pemeriksa perkara. Begitu juga lampiran pernyataan para pihak tentang hasil mediasi, bahkan penyusunan kesepakatan perdamaian pun belum berpedoman pada format baku yang telah ditetapkan dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 108/KMA/SK/VI/2016 tentang Tata Kelola Mediasi di Pengadilan.
  2. Masih terdapat Penetapan Mediator yang dikeluarkan oleh sebagian oknum hakim pemeriksa perkara yang masih  menyalahi format baku yang tertera pada SK KMA 108 tersebut.
  3. Pada beberapa kasus juga ditemukan kesepakatan perdamaian terhadap hal-hal yang berada di luar pokok perkara (petitum), tetapi tidak diiringi dengan perubahan pada gugatan asal Penggugat. Sebagaimana diketahui bahwa Pasal 25 ayat (1) tidak melarang untuk membicarakan hal-hal di luar pokok sengketa dalam mencapai kesepakatan perdamaian. Misalnya perkara gugatan perceraian. Pada tahap mediasi tidak tertutup kemungkinan untuk membicarakan persoalan nafkah pasca perceraian bagi istri ('iddah), kompensasi (mut'ah), metode pengasuhan anak, bahkan nafkah anak sekali pun. Jika terjadi kesepakatan di luar pokok perkara yang tertera pada gugatan asal, maka sudah semestinya gugatan asal diubah dengan menambahkan hasil kesepakatan perdamaian tersebut di dalam gugatan. Hal ini jelas-jelas terpampang nyata dalam Pasal 25 ayat (2) Perma mediasi tersebut, namun luput dari pengemban hukum praktikal yang sehari-hari berkutat dengan persoalan mediasi.
Kekeliruan mendasar di atas seolah-olah mengaminkan hasil penelitian yang menyatakan sangat minimnya minat baca masyarakat Indonesia. Malu rasanya kepada Proklamator kita yang cerdik cendikia. Yang dalam pengasingannya, mampu menamatkan 300 lebih judul buku yang semuanya berbahasa Belanda, Inggris, dan Mandarin. Itu pun dilahap dalam waktu tidak lebih dari 4 tahun di bawah intimidasi kolonial. Belum lagi jika bercerita tentang Hamka yang bijaksana. Redup dan dinginnya penjara tidak menghalangi untuk menulis Kitab Tafsir fenomenal bercita rasa Indonesia; al-Azhar. Pada akhirnya menghadirkan keadilan bagi orang banyak tidak akan tercapai selama kita tidak adil kepada akal budi. Yang Tuhan titipkan, namun disiakan.

Post a Comment for "Saat Praktisi Gagal Paham PERMA Mediasi"