Weber, Calvinisme, dan Kapitalisme dalam Balutan Agama
Luther yang merupakan professor teologi dan juga seorang Rahib menentang praktik Indulgensis. Praktik ini memungkinkan suatu hukuman akibat dosa dapat digugurkan dengan pemberian sejumlah uang ke pihak gereja. Ini lah yang kemudian menjadi alasan kuat bagi Karl Marx menelurkan sebuah gagasan bahwa agama hanyalah candu untuk menekan dan mengeksploitasi kelas bawah (Lough, 2006, p. 2). Setelah era Luther, estafet pergolakan dan penentangan terhadap arogansi gereja katolik semakin menguat di era John Calvin dengan Calvinism nya. Calvinisme inilah yang selanjutnya menjadi magnet tersendiri bagi Weber untuk memulai penelitiannya tentang pengaruh agama protestan bagi perkembangan kapitalisme.
Reformasi Gereja yang digulirkan pertama kali oleh Martin Luther, dan kemudian dilanjutkan oleh Calvinisme memperkenalkan suatu cara hidup yang disebut dengan “frugal-life style”. Calvinisme mengusung konsep pre-destination yang percaya bahwa hanya orang-orang pilihan lah yang akan pergi ke surga dan terhindar dari azab yang pedih. Konsep ini kemudian melahirkan suatu pertanyaan tentang siapakah yang dimaksud dengan orang-orang terpilih itu? Orang yang terpilih kemudian didefinisikan oleh Calvinisme sebagai seseorang yang memiliki work-ethic, yang bekerja dengan baik dan sungguh-sungguh di mana pun dan apapun jenis pekerjaan yang digeluti. Manusia dengan spesifikais tersebut akan berujung pada kesuksesan dalam bisnis, karena Tuhan meridhai aktivitasnya (Weber, 2005; p.102-109).
Paham pre-destination inilah yang kemudian menjadi pemicu semangat bagi orang-orang Protestan untuk bekerja lebih giat lagi dalam meningkatkan taraf kehidupan dan tingkat keuntungan agar menjadi orang-orang yang dipilih oleh Tuhan. Konsep inilah yang kemudian disebut sebagai cikal bakal dari kapitalisme modern yang kita kenal saat ini. Mengapa disebut demikian? Karena paham ini lebih dinamis dalam memberikan penilaian terhadap strata sosial. Calvinisme menggaungkan konsep bahwa bentuk tertinggi dari kewajiban moral seorang individu adalah upaya yang dilakukannya secara sungguh-sungguh dalam memenuhi tugasnya dalam urusan duniawi (Weber, 2005, p. x-xii).
Calvinisme memperbarui cara pandang masyarakat yang semula hanya memandang perkerjaan suci di mata Tuhan dan bernilai ibadah hanyalah menjadi Rahib, Agamawan, dan pelayan Gereja, bergeser menjadi suatu pemahaman yang berkeyakinan bahwa apapun pekerjaan yang dilakukan dengan baik dan sungguh-sungguh merupakan suatu kebaikan dan merupakan bentuk pelayanan kepada Tuhan. Hal ini lah yang membuat orang-orang yang semula menganggap bekerja sebagai tukang roti, penjahit, buruh adalah pekerjaan yang tidak mulia dan melakukannya dengan biasa-biasa saja bertransformasi menjadi pekerja yang melakukan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh karena berkeyakinan bahwa setiap pekerjaan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh adalah hal yang baik dan suci (Scarbrough, 2013).
Pada akhirnya Weber berpendapat bahwa Agama tidak hanya menempatkan orang-orang kaya dalam pusaran kekuasan sebagaimana pandangan Karl Marx, akan tetapi Agama juga dapat mengeluarkan seseorang dari pusaran kekuasan (Scarbrough, 2013). Weber berkeyakinan ideologi agama dapat menyebabkan suatu perubahan sosial (Weber, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, 2005).
Weber menilai bahwa kesejahteraan dapat diraih dengan kerja keras individual, bukan karena struktur sosial. Ruh dari pemikiran ini dipengaruhi oleh nilai-nilai protestan calvinisme yang diteliti oleh Weber. Kesejahteraan versi Weber adalah kesuksesan dalam bisnis, berupa kekayaan yang dapat dicapai oleh Individu dengan menerapkan work-ethic dan frugal-life style. Berbeda dengan Marx yang memandang kapitalisme sebagai sarana eksploitasi, Weber menegaskan bahwa kapitalisme lahir dari eksternalisasi doktrin agama (calvinisme) yang membawa kepada kesejahteraan.
Untuk memahami alur pikir Weber, kita terlebih dahulu dituntut mengetahui esensi dari kapitalisme itu sendiri. Kapitalisme dapat didefinisikan sebagai suatu paham di mana masyarakat menjual barang-barang atau menawarkan jasa yang mereka miliki untuk mendapatkan hasil maksimal yang mungkin diraih. Orang-orang diproyeksikan untuk membeli alat-alat atau benda-benda yang dibutuhkan untuk membangun bisnisnya semurah mungkin, dengan tujuan memperoleh keuntungan dan laba. Meskipun demikian juga terdapat kekhawatiran dalam diri Weber tentang kapitalisme, yang juga berpotensi melahirkan perbudakan baru (Ferrera, 2018).
Weber membangun teorinya berdasarkan doktrin Calvinism, khususnya paham predestination. Teori weber ini dipertanyakan oleh banyak pakar yang mengklaim terdapat kekeliruan Weber dalam memahami doktirn predestination. Tidak ada hal baru yang diperkenalkan oleh Calvinisme tentang paham predestination. Bisa dikatakan bahwa paham predestination tentang konsep “good work” dan “election” masih sama dengan apa yang dipahami sejak zaman Thomas Aquinas hingga Agustinus di era Katolik. Di sisi lain, kapitalisme tidak bergantung pada pada teori Weber tentang Calvinism, karena kalpitalisme sudah dimulai sejak era Renassaince dan revolusi industri (Milan Zafrovski, 2019).
Post a Comment for "Weber, Calvinisme, dan Kapitalisme dalam Balutan Agama"