Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Qawa’id Fiqhiyyah Mu’amalah sebagai Jaminan Perlindungan Konsumen di Era Digital

Hak-hak yang dapat diperjuangkan oleh konsumen secara hukum diatur dalam Pasal 4 dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang meliputi hal-hal sebagai berikut:

  1. Jaminan keamanan, kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi dan menggunakan barang dan jasa;
  2. Keleluasaan dalam memilih barang dan/atau jasa serta hak untuk memperolehnya sesuai dengan harga yang wajar dan spesifikasi yang sesuai;
  3. Informasi yang benar, jelas, dan jujur tentang spesifikasi barang dan/atau jasa;
  4. Hak untuk memberikan pendapat dan keluhan jika barang dan/atau jasa tidak sesuai ketentuan yang seharusnya;
  5. Mendapatkan advokasi dan perlindungan, serta upaya penyelesaian sengketa yang dilindungi oleh Undang-undang;
  6. Mendapat pembinaan dan pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan konsumen;
  7. Mendapatkan perlakuan dan pelayanan tanpa diskriminasi;
  8. Memperoleh kompensasi atau ganti rugi, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai spesifikasi yang diperjanjikan dalam kontrak jual beli.

Dalam perspektif Penulis, Pasal 4 huruf (i) UU Perlindungan Konsumen merupakan pintu masuk bagi beberapa peraturan perundang-undangan lainnya yang selaras dengan tujuan memberikan perlindungan terhadap konsumen. Setidaknya ada beberapa peraturan perundang-undangan yang merupakan pengembangan dari UU Perlindungan Konsumen:
  1. Undang-undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan, yang dalam salah satu pasalnya mengatur tentang izin edar terhadap produk olahan pangan yang dibuat dan/atau diimpor untuk diperdagangkan.
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 1999 yang mensyaratkan kepada para pelaku usaha pangan untuk mencantumkan keterangan dan/atau pernyataan pada label tentang pangan haruslah benar dan tidak menyesatkan.
  3. Undang-undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, yang mengatur tentang barang yang beredar harus terlebih dahulu memperoleh sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia. Barang yang dimaksud dalam UU ini adalah setiap makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat
Ruh dari peraturan perundang-undangan di atas selaras dengan aturan-aturan umum dalam ranah hukum ekonomi Islam atau yang dikenal dengan qawa'id fiqhiyyah mu'amalahQawaid Fiqhiyyah Mu’amalah sangat berperan penting dalam memecahkan persoalan ekonomi kontemporer. Berkembangnya teknologi berdampak pada pergeseran perilaku produsen dan konsumen dalam bertransaksi. Kegiatan ekonomi yang semula pada umumnya bersifat tatap muka, menggunakan sistim manual, berangsur-angsur tergusur oleh transaksi elektronik, yang jamak dikenal dengan e-commerce. Pemahaman terhadap kaidah fiqh sangat membantu dalam mengatasi persoalan kontemporer. Hal ini dikarenakan ranah mu’amalah begitu luas dan kompleks, sedangkan nash sebagai sumber hukum Islam bersifat global dan terbatas dari segi kuantitas.

Salah satu kaidah fiqh yang paling urgen dan sangat berpihak kepada perlindungan konsumen adalah السالمة علي العقد مضي االصل. Kaidah ini secara harfiah dapat dipahami dengan; “pada prinsipnya setiap barang yang diterima dalam keadaan selamat ketika akad”. Makna kata السالمة dalam kaidah ini adalah suatu produk haruslah terbebas dari cacat dan aib saat transaksi dilakukan. Jika produk yang diperjual-belikan tersebut mengalami cacat dan memiliki aib, apakah karena cacat produksi atau disebabkan kesalahan manusia, maka produk tersebut tidak termasuk kategori selamat.

Kaidah ini memiliki posisi penting dalam mu’amalah maaliyah, dan menjadi salah satu rujukan untuk menentukan siapa yang berhak untuk dimenagnkan ketika terjadi sengketa. Al- Kasyani mejelaskan makna kaidah ini sebagai berikut (al-hanafi, t. th.):

الدليل على أن السالمة مشروطة يف العقد داللة أن السالمة يف البيع مطلوبة املشرتي عادة إىل آخره

ألن غرضه االنتفاع ابملبيع وال يتكامل انتفاعه إال بقيد السالمة

Artinya: Bukti bahwa barang bebas cacat adalah syarat akad secara prinsip, karena yang diinginkan oleh pembeli adalah produk yang bebas cacat. Karena tujuannya adalah memanfaatkan barang. Pembeli hanya bisa memanfaatkannya dengan baik, jika produk bebas dari cacat.

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa saat terjadi akad/ kontrak, kondisi barang dagangan harus sempurna, dalam artian tidak memiliki kekurangan satu apapun, dan sesuai spesifikasi. Jika ternyata barang atau produk tersebut tidak sesuai dengan spesifikasi yang disepakati, pembeli punya hak untuk mengembalikan produk tersebut kepada penjual.

Pada tataran ekonomi modern, untuk menghindari suatu cacat pada produk atau komoditi yang diperdagangkan, biasanya setiap Produsen menerapkan konsep quality control. Penerapan quality control merupakan faktor penentu kesuksesan seorang Produsen dalam memenangkan persaingan ekonomi global (Tolio, 2006). Hal ini sejalan dengan keinginan konsumen untuk memperoleh produk yang berkualitas dan tanpa cacat, sekaligus meningkatkan kepercayaan konsumen kepada produsen.

Hikmah dari penerapan kaidah ini adalah timbulnya kesadaran dari produsen dan/atau penjual untuk memastikan kualitas produk yang dijualnya, sehingga komoditi yang beredar di jagat e-commerce benar-benar berkualitas dan selamat dari cacat. Penerapan kaidah ini juga menjadi tameng bagi konsumen untuk menuntut penjual suatu waktu jika terjadi mal-produksi pada barang yang diperjual-belikan, sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen.

Post a Comment for " Qawa’id Fiqhiyyah Mu’amalah sebagai Jaminan Perlindungan Konsumen di Era Digital"