'Uruf Di Mata Para Ulama
Kehujjahan ‘Uruf.
Mayoritas ulama menjadikan ‘uruf sebagai hujjah dalam menetapkan hukum. Imam Hanafi menggunakan ‘uruf dalam berhujjah apabila tidak terdapat hukum dalam nash al-Qur’an dan hadis, ijma’ dan istihsan.[1] Imam Malik meninggalkan qiyas apabila itu berlawanan dengan ‘uruf masyarakat Madinah, sehingga ia menjadikan tradisi sebagai pengkhususan nash syar’i. Di sisi lain, Imam Syafi’i menerima ‘uruf apabila ‘uruf tersebut tidak berlawanan dengan nash atau tidak adanya petunjuk dari nash syar’i. Imam Ahmad bin Hanbal berpedoman pada tradisi ketika menerapkan hukum dan dalam menafsirkan nash-nash syari’ah.[2]
Dari beberapa pendapat para imam di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa mayoritas Fuqaha sepakat menerima ‘uruf sebagai hujjah. Adapaun 'uruf yang dimaksud adalah ‘uruf shahih yang tidak bertentangan dengan nash syar’i.[3] Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 199) dan hadits-hadits Rasulullah SAW sebagaimana berikut ini:
Mayoritas ulama menjadikan ‘uruf sebagai hujjah dalam menetapkan hukum. Imam Hanafi menggunakan ‘uruf dalam berhujjah apabila tidak terdapat hukum dalam nash al-Qur’an dan hadis, ijma’ dan istihsan.[1] Imam Malik meninggalkan qiyas apabila itu berlawanan dengan ‘uruf masyarakat Madinah, sehingga ia menjadikan tradisi sebagai pengkhususan nash syar’i. Di sisi lain, Imam Syafi’i menerima ‘uruf apabila ‘uruf tersebut tidak berlawanan dengan nash atau tidak adanya petunjuk dari nash syar’i. Imam Ahmad bin Hanbal berpedoman pada tradisi ketika menerapkan hukum dan dalam menafsirkan nash-nash syari’ah.[2]
Dari beberapa pendapat para imam di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa mayoritas Fuqaha sepakat menerima ‘uruf sebagai hujjah. Adapaun 'uruf yang dimaksud adalah ‘uruf shahih yang tidak bertentangan dengan nash syar’i.[3] Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 199) dan hadits-hadits Rasulullah SAW sebagaimana berikut ini:
خذ العفو وأمر بالعرف وأعرض عن الجا هلين
“Maafkanlah dan suruhlah orang (mengerjakan) yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.”
‘Ma’ruf’ di sini adalah ”sesuatu yang dianggap bagus”, maksudnya apa yang bagus secara syar’i.
Kemudian, hadis dari Abdullah bin Mas’ud yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnad nya, yaitu:
‘Ma’ruf’ di sini adalah ”sesuatu yang dianggap bagus”, maksudnya apa yang bagus secara syar’i.
Kemudian, hadis dari Abdullah bin Mas’ud yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnad nya, yaitu:
(( ما رأه المسلمون حسنا فهو عندالله حسن ))
“Apa yang dipandang baik oleh umat Islam, maka baik pula di sisi Allah”
Begitu juga dalam hadis yang lain, “Siapa yang melakukan jual beli salam pada kurma hendaklah ditentukan jumlahnya, takarannya dan tenggang waktunya.” Hal ini didukung juga oleh al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 233.
Begitu juga dalam hadis yang lain, “Siapa yang melakukan jual beli salam pada kurma hendaklah ditentukan jumlahnya, takarannya dan tenggang waktunya.” Hal ini didukung juga oleh al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 233.
وعلى المولود له رزقهنّ و كسوتهنّ بالمعروف
“(Kewajiban) atas bapak memberikan belanja kepada ibu anaknya itu dan pakaian yang ma’ruf.”
Al-Qur’an mewajibkan nafkah kepada suami sesuai kadar kemampuannya dan tidak dijelaskan berapa kadarnya, maka kadar nafkah ini ditentukan berdasarkan tradisi.
Syarat-syarat ‘Uruf dan Cara Penggunaannya.
Para ulama yang menerima (menggunakan) ‘uruf dalam memahami dan meng-istinbath-kan hukum, menetapkan beberapa persyaratan sebagai syarat diterimanya ‘uruf tersebut, yaitu:
1. ‘Uruf itu bernilai maslahat dan dapat diterima akal sehat.
Misalkan saja kebiasaan suatu masyarakat yang membakar istri hidup-hidup jika ditinggal mati suaminya bersamaan dengan jenazah sang suami, meski kebiasaan itu dinilai baik dari segi rasa agama suatu kelompok, namun tidak dapat diterima oleh akal sehat. Demikian juga dengan kebiasaan memakan ular.
2. 'Uruf tersebut merupakan uruf/adat yang umum.
Al-Qur’an mewajibkan nafkah kepada suami sesuai kadar kemampuannya dan tidak dijelaskan berapa kadarnya, maka kadar nafkah ini ditentukan berdasarkan tradisi.
Syarat-syarat ‘Uruf dan Cara Penggunaannya.
Para ulama yang menerima (menggunakan) ‘uruf dalam memahami dan meng-istinbath-kan hukum, menetapkan beberapa persyaratan sebagai syarat diterimanya ‘uruf tersebut, yaitu:
1. ‘Uruf itu bernilai maslahat dan dapat diterima akal sehat.
Misalkan saja kebiasaan suatu masyarakat yang membakar istri hidup-hidup jika ditinggal mati suaminya bersamaan dengan jenazah sang suami, meski kebiasaan itu dinilai baik dari segi rasa agama suatu kelompok, namun tidak dapat diterima oleh akal sehat. Demikian juga dengan kebiasaan memakan ular.
2. 'Uruf tersebut merupakan uruf/adat yang umum.
Maksudnya ’uruf itu berlaku umum dan merata dikalangan orang-orang yang berada dalam lingkungan adat tersebut, atau dikalangan sebagian besar (mayoritas) warganya.
Dalam hal ini, al-Suyuthi berpendapat bahwa:
Dalam hal ini, al-Suyuthi berpendapat bahwa:
انما تعتبر العادة اذا الطّّرد ت فاءن لم يطّرد فلا
Sesungguhnya ‘adat yang diperhitungkan itu adalah yang berlaku secara umum. Seandainya kacau, maka tidak akan diperhitungkan.
3. 'Uruf tersebut merupakan ’uruf/adat yang lama. 'Uruf tersebut bukanlah kebiasaan yang baru muncul, akan tetapi memang telah ada dan berlaku pada saat itu. Dalam hal ini ada kaidah yang mengatakan:
3. 'Uruf tersebut merupakan ’uruf/adat yang lama. 'Uruf tersebut bukanlah kebiasaan yang baru muncul, akan tetapi memang telah ada dan berlaku pada saat itu. Dalam hal ini ada kaidah yang mengatakan:
العرف الّذى تحمل عليه الالفا ظ انّما هو المقا رن السا بق دون المتأ خّر
‘Uruf yang diberlakukan padanya suatu lafaz (ketentuan hukum) hanyalah yang datang beriringan atau mendahului, bukan yang datang kemudian.
4. ’Uruf tersebut tidak bertentangan dengan dalil (nash syar’i) yang pasti.[4]
Dari uraian di atas jelaslah bahwa ‘uruf atau adat itu digunakan sebagai landasan dalam menetapkan hukum, tetapi penerimaan ulama atas adat itu bukanlah semata-mata ia bernama adat/’uruf. 'Uruf ataupun Adat itu bukanlah dalil yang berdiri sendiri, tapi ada yang mendukungnya, baik dalam bentuk ijma’ atau maslahat.
Dalam menanggapi adanya penggunaan ‘uruf dalam fiqih, al-Suyuthi mengulasnya dengan mengembalikannya kepada kaidah-kaidah berikut:
4. ’Uruf tersebut tidak bertentangan dengan dalil (nash syar’i) yang pasti.[4]
Dari uraian di atas jelaslah bahwa ‘uruf atau adat itu digunakan sebagai landasan dalam menetapkan hukum, tetapi penerimaan ulama atas adat itu bukanlah semata-mata ia bernama adat/’uruf. 'Uruf ataupun Adat itu bukanlah dalil yang berdiri sendiri, tapi ada yang mendukungnya, baik dalam bentuk ijma’ atau maslahat.
Dalam menanggapi adanya penggunaan ‘uruf dalam fiqih, al-Suyuthi mengulasnya dengan mengembalikannya kepada kaidah-kaidah berikut:
- Adat kebiasaan (‘uruf) itu bisa menjadi dasar hukum ( العادة محكمة ). Dalam artian tetap dilaksanakan dan ditetapkan dalam hukum islam. Alasan para ulama terhadap penggunaan (penerimaan) mereka terhadap ‘uruf tersebut adalah hadis yang diriwayatkan Ibnu Mas’ud di atas.
- Tidak diingkari bahwa perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat ( تغير الآحكام بتغير الأزما ن)
- Sesuatu yang baik itu menjadi ‘uruf sebagaimana yang dijadikan syarat menjadi syarat ( المعروف عرفا كالشروط شرطا), ini didasari oleh pertimbangan kemaslahatan (kebutuhan orang banyak), dalam arti kata; orang akan banyak mengalami kesulitan bila tidak menggunakan ‘uruf.
- Bila hukum telah ditetapkan berdasarkan kepada ‘uruf, maka kekuatannya sama dengan yang ditetapkan berdasarkan nash.[5] ( الثا بت بالعرف ثابت بالنص )
- Ulama Syafi’iyah banyak menggunakan ‘uruf dalam hal-hal tidak menemukan batasannya dalam syara’ maupun penggunaan bahasa. Mereka mengemukakan kaidah sebagai berikut:
( كل ما ورد به الشرع مطلقا ولا ضابط له فيه و لا فى اللغه يرجع فيه الى العرف )
“Setiap yang datang dengannya syara’ secara mutlak, dan tidak ada ukurannya dalam syara’ maupun dalam bahasa, maka dikembalikan kepada ‘uruf." [6]
“Setiap yang datang dengannya syara’ secara mutlak, dan tidak ada ukurannya dalam syara’ maupun dalam bahasa, maka dikembalikan kepada ‘uruf." [6]
____________________________________
[1] T. M. Hasbi As-Shiddiieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab, Cet. I, Semarang; P.T. Pustaka Rizki Putra, 1197, hal. 174-175.
[2] Samir Aliyah, Sistem Pemerintahan Peradilan dan Adat dalam Islam, Jakarta: Khalifa 2004, Cet. I, hal. 519.
[3] Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh Islami,,……hal. 831.
[4]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih II,…..hal. 401- 402.
[5] Nasrun Harun, Ushul Fiqh I, …. Hal. 143.
[6] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih II, ……, hal. 400.
[2] Samir Aliyah, Sistem Pemerintahan Peradilan dan Adat dalam Islam, Jakarta: Khalifa 2004, Cet. I, hal. 519.
[3] Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh Islami,,……hal. 831.
[4]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih II,…..hal. 401- 402.
[5] Nasrun Harun, Ushul Fiqh I, …. Hal. 143.
[6] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih II, ……, hal. 400.
Assalamualaikum....
ReplyDeletemintak izin untuk ambil maklumat dan menggunakannya dalam tugasan saya...t.kasih
semoga dimudahkan segala urusan anda... :)
JazakAllahu Khairan
Wa'alaikumussalam..
DeleteSilahkan saja kawan..
Semoga bermamfaat :)