Urf Dan Adat Dalam Literatur Ushul Fiqh
Pengertian ‘Uruf dan 'Adat
‘Uruf dan ‘Adat keduanya berasal dari kata bahasa arab dan sering dibicarakan dalam literatur ushul fiqih. Para Ushuliyyun berbeda pendapat dalam mendefinisikan ‘Uruf dan ‘Adat; apakah kedua kata ini memiliki makna dan maksud yang sama atau berbeda.
‘Uruf secara etimologi berarti “yang baik” dan juga berarti pengulangan atau berulang-ulang. Adapun dalam tataran terminologi, sebagian ulama ushul memberi definisi yang sama terhadap ‘Uruf dan 'Adat, sebagaimana definisi yang diberikan oleh Wahbah Zuhaily berikut ini:
‘Uruf dan ‘Adat keduanya berasal dari kata bahasa arab dan sering dibicarakan dalam literatur ushul fiqih. Para Ushuliyyun berbeda pendapat dalam mendefinisikan ‘Uruf dan ‘Adat; apakah kedua kata ini memiliki makna dan maksud yang sama atau berbeda.
‘Uruf secara etimologi berarti “yang baik” dan juga berarti pengulangan atau berulang-ulang. Adapun dalam tataran terminologi, sebagian ulama ushul memberi definisi yang sama terhadap ‘Uruf dan 'Adat, sebagaimana definisi yang diberikan oleh Wahbah Zuhaily berikut ini:
العرف : هو ما اعتاده الناس وساروا عليه من كل فعل شاع بينهم , أو لفظ تعارفوا اطلاقه على معنى خاص لا تألفه اللغة , ولا يتبادر غيره عند سماعه , وهو بمعنى العادة الجماعيّة , وقد شمل هذا التعريف العرف العملي والعرف القولي .
‘Uruf adalah kebiasaan manusia yang dilakukan secara terus menerus sehingga perbuatan tersebut menjadi populer di kalangan mereka, atau mengartikan suatu lafaz dengan pengertian khusus meskipun makna asli dari lafaz yang dimaksud berlainan.
Imam Al-Ghazali, al-Jurjani dan ‘Ali Haidaradalah adalah beberapa ulama yang menyamakan ‘Uruf dan 'Adat. Di Indonesia kita mengenal tokoh-tokoh seperti Hasbi Ash Shiddieqy, Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman yang berpendapat bahwa ‘Uruf dan 'Adat kebiasaan adalah sesuatu yang telah dibiasakan oleh masyarakat dan dijalankan secara terus-menerus baik berupa perkataan maupun perbuatan.
Amir Syarifuddin dalam bukunya Ushul Fiqih mengatakan:
Imam Al-Ghazali, al-Jurjani dan ‘Ali Haidaradalah adalah beberapa ulama yang menyamakan ‘Uruf dan 'Adat. Di Indonesia kita mengenal tokoh-tokoh seperti Hasbi Ash Shiddieqy, Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman yang berpendapat bahwa ‘Uruf dan 'Adat kebiasaan adalah sesuatu yang telah dibiasakan oleh masyarakat dan dijalankan secara terus-menerus baik berupa perkataan maupun perbuatan.
Amir Syarifuddin dalam bukunya Ushul Fiqih mengatakan:
Bila diperhatikan kedua kata tersebut ('Urf dan 'Adat) dari segi asal penggunaan dan akar katanya jelas berbeda. Kata (عرف) adalah sesuatu yang dikenal (معروف) atau kebajikan. Sedangkan kata (عادة) mengandung arti تكرار (perulangan). Karena itu, sesuatu yang baru dilakukan satu kali, belum dinamakan ‘adat.
Begitu juga dengan pendapat Ahmad Fahmi Abu Sinnah dan Musthafa Ahmad al-Zarqa’ sebagaimana yang dikutip oleh Nasrun Harun dalam buku Ushul Fiqih nya, mengatakan bahwa ulama Ushul membedakan‘Uruf dengan ‘Adat. Mereka mengartikan ‘Uruf dengan kebiasaan yang berlaku dalam suatu komunitas masyarakat, sedangkan ‘Adat adalah kebiasaan yang berlaku baik dari individu maupun komunitas masyarakat pada umumnya. Jadi adat bersifat lebih umum dari ‘uruf jika dilihat bukan dari segi cakupannya. Namun bila dilihat dari cakupannya Ahmad Fahmi Abu Sinnah telah membedakan uruf kepada ‘Uruf ‘Am dan ‘Uruf Khas’.
Disisi lain Musthafa Syalabi melihat perbedaan keduanya dari ruang lingkup penggunaannya. Kata ‘Uruf selalu digunakan untuk jamaah atau golongan, sedangkan kata ‘Adat dapat digunakan untuk sebagian orang di samping juga berlaku untuk golongan. Intinya apa yang telah menjadi kebiasaan seseorang, maka perbuatan itu dapat dikatakan sebagai ’adat orang itu, namun tidak dapat dikatakan sebagai ’uruf orang itu.
Berdasarkan pemahaman di atas, dapat kita pahami bahwa ‘Uruf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari ‘Uruf. ‘Uruf berlaku pada kebanyakan (mayoritas) orang di daerah tertentu, bukan pada pribadi atau kelompok tertentu dan ‘Uruf bukanlah kebiasaan alami sebagaimana yang berlaku dalam kebanyakan adat, tetapi muncul dari pemikiran dan pengalaman, seperti kebiasaan mayoritas masyarakat pada daerah tertentu yang biasa mengambil keperluan rumah tangga pada suatu perkawinan dari mas kawin yang diberikan oleh suami.
Dari paparan tersebut, maka penulis dengan segala keterbatasan menilai ada perbedaan antara ‘uruf dan adat kebiasaan, walaupun perbedaan ini tidak bersifat mutlak dan prinsipil. Perbedaan tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:
Disisi lain Musthafa Syalabi melihat perbedaan keduanya dari ruang lingkup penggunaannya. Kata ‘Uruf selalu digunakan untuk jamaah atau golongan, sedangkan kata ‘Adat dapat digunakan untuk sebagian orang di samping juga berlaku untuk golongan. Intinya apa yang telah menjadi kebiasaan seseorang, maka perbuatan itu dapat dikatakan sebagai ’adat orang itu, namun tidak dapat dikatakan sebagai ’uruf orang itu.
Berdasarkan pemahaman di atas, dapat kita pahami bahwa ‘Uruf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari ‘Uruf. ‘Uruf berlaku pada kebanyakan (mayoritas) orang di daerah tertentu, bukan pada pribadi atau kelompok tertentu dan ‘Uruf bukanlah kebiasaan alami sebagaimana yang berlaku dalam kebanyakan adat, tetapi muncul dari pemikiran dan pengalaman, seperti kebiasaan mayoritas masyarakat pada daerah tertentu yang biasa mengambil keperluan rumah tangga pada suatu perkawinan dari mas kawin yang diberikan oleh suami.
Dari paparan tersebut, maka penulis dengan segala keterbatasan menilai ada perbedaan antara ‘uruf dan adat kebiasaan, walaupun perbedaan ini tidak bersifat mutlak dan prinsipil. Perbedaan tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:
‘Adat adalah kebiasaan manusia secara umum tanpa membedakan antara kebiasaan individual dan kebiasaan suatu kelompok masyarakat. Dan adat hanya dipandang dari segi berulang kalinya suatu perbuatan, tidak meliputi penilaian mengenai segi baik dan buruknya perbuatan tersebut.
Berbeda halnya dengan ‘Uruf; yang dipandang dari segi kualitas perbuatannya, yaitu perbuatan yang dilakukan tersebut diakui, dikenal/diketahui dan diterima oleh orang banyak. Sedangkan bila dilihat dari segi kandungan artinya, ‘uruf itu identik dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik saja.
Daftar Bacaan
Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz; 100 Kaidah Fikih dalam kehidupan sehari-hari, Jakarta: Al- Kautsar, 2008;
Abdul Mujib, Kaidah Ilmu Fiqh (al-Qawa ‘idul Fiqhiyah), Cet. I, Jakarta: Kalam Mulia, 2001;
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Terj. Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib, Semarang: Toha Putra Group, 1994;
A. Djazuli dan Nurol Aen, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam, Cet. I, Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada, 2000;
Achyar Zein, Ushul al-Fiqh al-Muqarran: Studi Khusus Tentang al ‘urf dan al ‘Adat, Mata Kuliah Program Doktor, Banda Aceh : Program Pasca Sarjana IAIN Ar-Raniry, 2003;
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih jilid 2, Cet. Ke-5, Jakarta: Kencana, 2009;
Ali Sodiqin, Antropologi Al-Quran: Model Dialektika Wahyu dan Budaya, Jogjakarta: Ar- Ruzz Media, 2008;
Jaih Mubarrak, Kaidah Fiqh : Sejarah dan Kaidah Asasi, Jakarta : P.T. Raja Grafindo Persada, 2002;
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Cet. I, Bandung: Al-Ma’arif, 1986;
Musthafa az-Zarqa, al-Madkhal ‘ala al-Fiqh al-‘Am, Juz II, Damsyik: Dar al Fikr, 1968;
Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz; 100 Kaidah Fikih dalam kehidupan sehari-hari, Jakarta: Al- Kautsar, 2008;
Abdul Mujib, Kaidah Ilmu Fiqh (al-Qawa ‘idul Fiqhiyah), Cet. I, Jakarta: Kalam Mulia, 2001;
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Terj. Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib, Semarang: Toha Putra Group, 1994;
A. Djazuli dan Nurol Aen, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam, Cet. I, Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada, 2000;
Achyar Zein, Ushul al-Fiqh al-Muqarran: Studi Khusus Tentang al ‘urf dan al ‘Adat, Mata Kuliah Program Doktor, Banda Aceh : Program Pasca Sarjana IAIN Ar-Raniry, 2003;
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih jilid 2, Cet. Ke-5, Jakarta: Kencana, 2009;
Ali Sodiqin, Antropologi Al-Quran: Model Dialektika Wahyu dan Budaya, Jogjakarta: Ar- Ruzz Media, 2008;
Jaih Mubarrak, Kaidah Fiqh : Sejarah dan Kaidah Asasi, Jakarta : P.T. Raja Grafindo Persada, 2002;
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Cet. I, Bandung: Al-Ma’arif, 1986;
Musthafa az-Zarqa, al-Madkhal ‘ala al-Fiqh al-‘Am, Juz II, Damsyik: Dar al Fikr, 1968;
Nasrun Harun, Ushul Fiqh I, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997;
Sabhi Mahmassani, Filsafat Hukum Dalam Islam, Terj. Ahmad Sudjono, Cet. I, Bandung: P.T. Alma’arif, 1976;
Samir Aliyah, Sistem Pemerintahan Peradilan dan Adat dalam Islam, Jakarta: Khalifa, 2004;
T.M. Hasbi As-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam, Cet. II, Semarang: P.T. Pustaka Rizki Putra, 2001;
Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islam, Juz II, cet. II, Beirut: Dar al Fikr, 1986;
Sabhi Mahmassani, Filsafat Hukum Dalam Islam, Terj. Ahmad Sudjono, Cet. I, Bandung: P.T. Alma’arif, 1976;
Samir Aliyah, Sistem Pemerintahan Peradilan dan Adat dalam Islam, Jakarta: Khalifa, 2004;
T.M. Hasbi As-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam, Cet. II, Semarang: P.T. Pustaka Rizki Putra, 2001;
Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islam, Juz II, cet. II, Beirut: Dar al Fikr, 1986;
Terimakasih Penjelasannya ya :)
ReplyDelete