Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Putusan Hakim; Dipuji Dan Dicaci

Vonis Angelina Sondakh
Baru-baru ini sobat mungkin disuguhi dengan berita-berita yang lalu-lalang di berbagai media massa terkait putusan Pengadilan (dalam hal ini Mahkamah Agung). Yaa... ada pro dan kontra tentang vonis yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim dalam perkara-perkara terntentu yang sensitif (atau sengaja dibuat sensitif) oleh awak-awak media Tanah Air. Sebut saja vonis yang menimpa Angelina Sondakh yang diperberat oleh Mahkamah Agung, atau kasus hukum yang menjerumuskan beberapa dokter di Sulawesi ke dalam jeruji.

Kasus-kasus tersebut serta merta booming di tengah-tangah masyarakat, lagi-lagi yang menjadi pembicaraan adalah vonis yang dijatuhkan Hakim. Padahal putusan Pengadilan itu tak ubahnya sebuah karya ilmiah yang terdiri dari beberapa aspek, ada objek penelitiannya, metodologi penelitian yang digunakan, dan hasil dari penelitian itu sendiri. Nah, bukankah kurang maksimal jika kita hanya terpaku pada hasil dari penelitian (putusan) tersebut, tanpa terlebih dahulu melihat, menelaah secara komprehensif duduk perkara dan pertimbangan hukum yang dibuat oleh seorang Hakim (peneliti).

Adagium yang terkenal di jagad hukum adalah The Crown of The Judge is Decission. Mahkota soerang Hakim terletak pada putusannya. Putusan itu tidak hanya melulu Amar Putusan yang memuat vonis atau hukuman yang dijatuhkan Pengadilan, tetapi Putusan itu terdiri dari beberapa bagian yang saling berkaitan satu sama lain yang sama pentingnya. Secara umum ada beberapa bagian dari suatu Putusan yang wajib terdapat di dalamnya, yaitu:
  1. Kepala Putusan.
  2. Identitas Para Pihak.
  3. Duduk Perkara
  4. Pertimbangan Hukum
  5. Amar Putusan
  6. Penutup.
Asas-asas dalam Putusan

Asas-asas dalam putusan dijelaskan dalam Pasal 189 RBg/ 178 HIR, Pasal 19 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, Pasal 50 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 dan Pasal 62 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 tahun 1989. Asas-asas ini harus ditegakkan agar putusan tidak cacat hukum. Asas-asas yang dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di atas jika dirinci dapat dikelompokkan sebagai berikut:
  1. Membuat Dasar / Alasan yang Jelas dan Rinci.
Putusan yang dijatuhkan harus berdasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup. Jika tidak memenuhi ketentuan ini, dapat dikategorikan onvoldoende gomotiveerd / insufficient judgement (putusan yang tidak memuat pertimbangan yang cukup).
Pembahasan ini dijabarkan dalam Pasal 50 ayat (1) UU Nomor 48 tahun 2009; 
Putusan Pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar hukum untuk mengadili.

     2.  Mengadili Seluruh Bagian Gugatan / Dakwaan

Yahya Harahap [M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, 2006: 800] berpendapat bahwa Hakim tidak boleh memeriksa dan memutus sebagian saja, dan mengabaikan gugatan selebihnya. Cara mengadili yang demikian bertentangan dengan asas yang digariskan undang-undang.
Hal senada juga akan kita temukan dalam Pasal 189 ayat (2) RBg:
Ia wajib memberi keputusan tentang semua bagian gugatannya.

    3.  Tidak Boleh Mengabulkan Melebihi Tuntutan

Putusan tidak boleh memutus melebihi tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan. Hal seperti ini disebut juga dengan ultra petitum partium. Hakim yang memutus melebihi posita maupun petitum gugatan dianggap telah melampaui batas wewenang (ultra vires). Hal ini berakibat cacatnya suatu putusan yang dikeluarkan meskipun dengan itikad baik (good faith) maupun sesuai dengan kepentingan umum (public interest).

    4.  Putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum

Maksudnya adalah suatu Putusan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum yang dilakukan di dalam ruang sidang yang telah ditentukan untuk itu (SEMA Nomor 4 tahun 1974).  Hal ini bertujuan untuk mencegah proses peradilan yang berat sebelah (partial) atau diskriminatif, karena proses peradilan sejak awal hingga putusan dibacakan dilihat dan didengar langsung oleh publik.

Adapun untuk perkara-perkara tertentu yang proses peradilannya dilakukan tertutup untuk umum, seperti halnya kasus-kasus perceraian dan kesusilaan, Putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan tetap diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Jika hal ini tidak dilakukan, maka putusan tersebut invalid atau cacat hukum.

Asas ini secara jelas dapat dilihat dalam Pasal 13 ayat (2) UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 60 UU Nomor 7 tahun 1989 sebagaimana terakhir diubah dengan UU Nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama.

Urgensi Pertimbangan Hukum (Legal Reasoning)

Tanpa menafikan unsur-unsur lain yang termaktub dalam sebuah putusan, unsur pertimbangan hukum memiliki poin penting tersendiri. Pertimbangan hukum yang termuat dalam suatu Putusan Pengadilan mencerminkan alur pikir seorang Hakim dalam menelaah dan mengetengahkan alasan-alasan logic dan grounded terkait suatu perkara yang disuguhkan kepadanya.

Suatu pertimbangan yang baik akan terlihat lebih sistematik dan mudah dipahami. Hal ini disebabkan pertimbangan hukum itu sendiri sudah memiliki suatu rumusan yang apik. Ada tiga tahapan yang termuat dalam suatu putusan; Konstatir, Kualifisir, dan Konstituir.

Secara umum Konstatir adalah tahapan dimana seorang Hakim menghimpun (inventarisasi) fakta-fakta yang terkuak di persidangan. Kualifisir adalah tahap dimana seorang Hakim memilah dan memilih fakta-fakta yang relevan dan tidak relevan dengan objek perkara yang sedang ditanganinya, sehingga setelah melakukan tahap ini akan didapatkanlah fakta-fakta yang valid dan akurat.

Konstituir adalah tahapan akhir dimana Hakim dengan fakta-fakta yang valid dan akurat tersebut mencarikan dasar-dasar hukum atau pertimbangan lainnya yang tepat, dan menghubungkannya dengan fakta-fakta tersebut. Tahapan-tahapan tersebut bertujuan agar konklusi yang dihasilkan merupakan konklusi yang valid, grouded, dan teruji. Tentunya tanpa menafikan unsur Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemamfaatan.

Rumus sederhananya adalah F X R = C.  F adalah Fakta, R adalah Rules (peraturan perundang-undangan), C adalah konklusi (hasil/dictum). Putusan yang baik adalah jika F nya benar, R nya benar, dan C nya benar. Jika salah satu komponen saja tidak benar, maka sudah dapat diramalkan bahwa Putusan tersebut kurang sempurna (jika tidak dapat dikatakan salah).

Nah, setelah membaca uraian singkat di atas, setidaknya kita mengetahui bahwa ada bagian yang lebih penting selain vonis yang terdapat dalam Amar Putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan, yaitu Pertimbangan Hukum. Kualitas seorang Hakim dapat dilihat dari Pertimbangan-pertimbangan yang ditorehkannya. Idealnya suatu putusan yang baik harus memuat unsur Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemamfaatan.

Post a Comment for "Putusan Hakim; Dipuji Dan Dicaci"