Asas-Asas Hukum Acara Pidana
Sebelum
menukik ke pembahasan tentang asas-asas Hukum Acara Pidana di
Indonesia, alangkah baiknya jika kita mengetahui terlebih dahulu
sumber-sumber Hukum Acara Pidana yang diterapkan di Indonesia. Sependek
pengetahuan saya, Hukum Acara Pidana yang berlaku di Indonesia bersumber
dari:
Nullumdelictum Nulla Poena Sina Praevia Lege Poenali [Von Feuerbach: 1775-1833]. Suatu kalimat yang sangat panjang bukan? Sekalipun panjang, tetapi kalimat ini mempunyai makna yang sangat dalam, sangat berarti, dan disanjung tinggi. Kalimat panjang tersebut bermakna "Tidak ada tindak pidana, tidak ada pidana tanpa ada peraturan terlebih dahulu."
Kalimat dengan makna yang sama juga dapat kita temukan dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
Perbedaan antara penafsiran analogi dan ekstensif adalah, jika penafsiran analogi tidak berpegang pada bunyi peraturan, melainkan pada inti atau rasio dari peraturan, sedangkan penafsiran ekstensif tetap berpegang pada bunyi peraturan.
2. Asas Retro Aktif
Ada beberapa perbedaan pandangan terhadap arti perubahan perundang-undangan sebagaimana yang dijelaskan pada paragraf sebelumnya. Adapun pandangan-pandangan tersebut antara lain:
1. Paham Formil
Paham ini berpendapat bahwa perubahan perundang-udangan terbatas pada perubahan redaksi rumusan suatu ketentuan dalam perundang-undangan hukum pidana saja.
2. Paham Materiil Terbatas
Kelompok ini berpendapat bahwa yang dimaksud dengan perubahan perundang-undangan meliputi perubahan keyakinan hukum pembentuk Undang-undang dalam segala jenis hukum, akibat perubahan kesadaran hukum masyarakat. Misalnya; Arrest HR, mucikari dari Venlo yang dikenai Pasal 295 KUHP dilepaskan dari segala tuntutan hukum dengan pertimbangan batas kedewasaan dalam Pasal 330 BW berubah pada saat perkara tersebut diperiksa dan diputus, dimana pada aturan semula batas yang dimaksud adalah sebelum 23 tahun berubah menjadi sebelum 21 tahun.
3. Paham Materiil Tidak Terbatas
Perubahan semua undang-undang dalam arti luas yang meliputi segala macam perubahan, baik berupa perubahan perasaan hukum pembuat Undang-undang (sebagaimana paham Materiil Terbatas), maupun perubahan keadaan karena waktu. Misalnya tindak pidana penerbitan cek kosong dalam Undang-undang Nomor 17 tahun 1964. Pada saat Kasasi, Undang-undang tersebut dicabut melalui Perpu Nomor 1 tahun 1971, sehingga Mahkamah Agung melepaskan para terdakwa dari segala tuntutan hukum.
MVT WvS: Tidak termasuk perubahan Undang-undang ialah Undang-undang yang diberlakukan dalam jangka waktu tertentu yang kemudian dicabut.
Setelah mengetahui beberapa mainstream pemikiran tentang arti perubahan perundang-undangan, selanjutnya kita coba menguak arti kalimat "lebih menguntungkan terdakwa" yang terkandung dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP, sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya. Arti dari statement lebih menguntungkan terdakwa antara lain:
- UUD 1945
- Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
- KUHP
- Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
- UU Mahkamah Agung (Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 14 tahun 1985)
- UU Kepolisian;
- Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP.
- Beberapa peraturan perundang-undangan lainnya seperti UU TIPIKOR, UU Pencucian Uang, UU Perdagangan Manusia, dan UU Pengadilan HAM.
Asas-asas hukum acara pidana
yang terdapat dalam KUHP (lihat Bab Pertama Buku I, dimulai dari pasal 1
sampai dengan pasal 9) meliputi beberapa hal:
- Ruang lingkup berlakunya hukum pidana.
- Batas waktu belakunya hukum pidana menurut waktu.
- Batas berlakunya hukum pidana menurut tempat dan orang.
Agar pembahasan ini lebih terstruktur dan mudah dipahami, maka akan saya paparkan dalam bentuk poin per poin.
A. Ruang Lingkup Hukum Pidana Menurut Waktu
1. Asas Legalitas.
Principle Of Legality terdapat dalam Pasal 8 Declaration Des Droits De L'Homme Et Ducitoyen (1979). Deklarasi tersebut semacam Undang-undang Dasar yang dibentuk pada masa pecahnya Revolusi Perancis.
Principle Of Legality terdapat dalam Pasal 8 Declaration Des Droits De L'Homme Et Ducitoyen (1979). Deklarasi tersebut semacam Undang-undang Dasar yang dibentuk pada masa pecahnya Revolusi Perancis.
Nullumdelictum Nulla Poena Sina Praevia Lege Poenali [Von Feuerbach: 1775-1833]. Suatu kalimat yang sangat panjang bukan? Sekalipun panjang, tetapi kalimat ini mempunyai makna yang sangat dalam, sangat berarti, dan disanjung tinggi. Kalimat panjang tersebut bermakna "Tidak ada tindak pidana, tidak ada pidana tanpa ada peraturan terlebih dahulu."
Kalimat dengan makna yang sama juga dapat kita temukan dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
"Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada"
Dengan kata lain, ketentuan hukum pidana harus tertulis, tidak boleh dilakukan analogi, dan tidak berlaku surut (Non Retro Aktif).
Jika kita pernah mendengar pepatah "hidup itu pilihan, dan setiap pilihan memiliki resiko", maka demikian juga halnya dengan asas legalitas yang sedang kita bahas ini. Asas legalitas mempunyai efek samping (konsekuensi), antara lain:
Jika kita pernah mendengar pepatah "hidup itu pilihan, dan setiap pilihan memiliki resiko", maka demikian juga halnya dengan asas legalitas yang sedang kita bahas ini. Asas legalitas mempunyai efek samping (konsekuensi), antara lain:
- Perbuatan yang tidak dicantumkan sebagai tindak pidana dalam Undang-undang, tidak dapat dipidana.
- Hukum Pidana tidak boleh ada penafsiran analogi. Penafsiran analogi adalah suatu penafsiran yang tidak berpegang pada bunyi peraturan, tetapi lebih kepada inti atau rasio dari peraturan.
Tidak diperkenankannya
penafsiran analogi bertujuan untuk mencegah tindakan sewenang-wenang
dari penguasa. Hukum Pidana sekalipun melarang penafsiran analogi,
tetapi membolehkan penafsiran ekstensif. Penafsiran ekstensif adalah
suatu penafsiran dengan memperluas arti kata menurut makna pada waktu
dibentuknya Undag-undang, tetapi masih berpegang pada bunyi peraturan.
Perbedaan antara penafsiran analogi dan ekstensif adalah, jika penafsiran analogi tidak berpegang pada bunyi peraturan, melainkan pada inti atau rasio dari peraturan, sedangkan penafsiran ekstensif tetap berpegang pada bunyi peraturan.
2. Asas Retro Aktif
Asas
ini bermakna, "Tidak seorang pun dapat dihukum, kecuali berdasarkan
suatu ketentuan pidana yang telah ada terlebih dahulu sebelum perbuatan
pidana tersebut dilakukan (tidak berlaku surut)".
Namun terdapat pengecualian terhadap asas ini pada kondisi tertentu (lihat Pasal 1 Ayat (2) KUHP). Pengecualian yang dimaksud adalah, jika terjadi perubahan peraturan perundang-undangan, dan perubahan itu terjadi setelah perbuatan dilakukan, sedangkan peraturan baru tersebut lebih menguntungkan atau meringankan pelaku perbuatan pidana, maka tidak berlaku asas ini.
Namun terdapat pengecualian terhadap asas ini pada kondisi tertentu (lihat Pasal 1 Ayat (2) KUHP). Pengecualian yang dimaksud adalah, jika terjadi perubahan peraturan perundang-undangan, dan perubahan itu terjadi setelah perbuatan dilakukan, sedangkan peraturan baru tersebut lebih menguntungkan atau meringankan pelaku perbuatan pidana, maka tidak berlaku asas ini.
Ada beberapa perbedaan pandangan terhadap arti perubahan perundang-undangan sebagaimana yang dijelaskan pada paragraf sebelumnya. Adapun pandangan-pandangan tersebut antara lain:
1. Paham Formil
Paham ini berpendapat bahwa perubahan perundang-udangan terbatas pada perubahan redaksi rumusan suatu ketentuan dalam perundang-undangan hukum pidana saja.
2. Paham Materiil Terbatas
Kelompok ini berpendapat bahwa yang dimaksud dengan perubahan perundang-undangan meliputi perubahan keyakinan hukum pembentuk Undang-undang dalam segala jenis hukum, akibat perubahan kesadaran hukum masyarakat. Misalnya; Arrest HR, mucikari dari Venlo yang dikenai Pasal 295 KUHP dilepaskan dari segala tuntutan hukum dengan pertimbangan batas kedewasaan dalam Pasal 330 BW berubah pada saat perkara tersebut diperiksa dan diputus, dimana pada aturan semula batas yang dimaksud adalah sebelum 23 tahun berubah menjadi sebelum 21 tahun.
3. Paham Materiil Tidak Terbatas
Perubahan semua undang-undang dalam arti luas yang meliputi segala macam perubahan, baik berupa perubahan perasaan hukum pembuat Undang-undang (sebagaimana paham Materiil Terbatas), maupun perubahan keadaan karena waktu. Misalnya tindak pidana penerbitan cek kosong dalam Undang-undang Nomor 17 tahun 1964. Pada saat Kasasi, Undang-undang tersebut dicabut melalui Perpu Nomor 1 tahun 1971, sehingga Mahkamah Agung melepaskan para terdakwa dari segala tuntutan hukum.
MVT WvS: Tidak termasuk perubahan Undang-undang ialah Undang-undang yang diberlakukan dalam jangka waktu tertentu yang kemudian dicabut.
Setelah mengetahui beberapa mainstream pemikiran tentang arti perubahan perundang-undangan, selanjutnya kita coba menguak arti kalimat "lebih menguntungkan terdakwa" yang terkandung dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP, sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya. Arti dari statement lebih menguntungkan terdakwa antara lain:
- Lebih ringan ancaman pidananya dalam rumusan Undang-Undang.
- Lebih ringan dalam arti jenis pidananya (Pasal 10 KUHP).
- Lebih tingan tenggang daluwarsanya bagi penuntutan pidana (Pasal 78 KUHP) dan pengulangan tindak pidana (misalnya; Pasal 157 ayat (2) KUHP)
- Lebih ringan dalam hal pengaduan untuk penuntuta pidananya (misalnya: Delik biasa menjadi delik aduan)
- Lebih ringan arti tidak dapat dipidananya perbuatan (Tindak pidana menjadi bukan tindak pidana)
Hmm.. saya rasa cukup sekian sharing
untuk hari ini. Mudah-mudahan di lain kesempatan dapat kita teruskan ke pembahasan
selanjutnya. Terimakasih atas kunjungannya.
wow keren, artikel ini sangat membantu...
ReplyDeletejangan lupa kunjungi juga Urgensi Pengawasan terhadap MK RI