Saat Cinta & Benci Berafiliasi
Suatu hari ada kawan yang bertanya,
“Kawan, mengapa aku kembali merasa suka kepada bukit batu ya? Padahal aku telah membencinya meski dahulu memang juga pernah menyukainya.”
Sembari memikirkan jawaban yang hendak kuberikan, aku mengajaknya berkeliling taman. Tiba-tiba seekor tupai melintas tepat di hadapan kami. Itu adalah tupai berbulu putih yang sangat cantik. Temanku ini, langsung berdecak kagum. Pada saat itu juga aku seperti mendapatkan ide untuk menjawab pertanyaanya.
“Kawan, apakah kamu suka tupai?”
“Iya, binatangnya lucu, mungil, cerdik, dan lincah”
“Namun bukankah tupai suka mencuri juga?” tanyaku.
“Iya betul. Tapi kan hampir semua binatang seperti itu juga kawan” balasnya.
“Lalu bagaimana dengan kentutnya yang sangat bau kawan?”
“Ya, itu kan cara tupai mempertahankan diri kawan, tidak juga bisa disalahkan”
“Hm… Jika demikian maka agaknya pertanyaanmu tentang tempat yang kamu benci dan pernah sukai tadi terjawab sudah”
“Dari bagian mana?” tanyanya ragu.
“Ya, dari bagian kamu menyukai indahnya tupai dan kamu bisa memahami keburukannya”
“Hm…” wajahnya masih bingung.
“Begini kawan, sebanyak yang aku tahu rasa suka dan benci kita kepada sesuatu tidak akan pernah berubah jika ia benar dan bukan hasil manipulasi. Kita akan menyukai sesuatu dan atau membenci sesuatu selalu berdasarkan alasan yang sama. Ketika kamu masih tertarik maka itu berarti suka dan ketika kamu sudah tidak lagi tertarik atau jengah maka itu berarti benci. Lalu ketika kamu kembali tertarik dan menerimanya, berarti kamu kembali pada poin tatkala pernah menyukainya. Dan ketika kamu ingat akan kejengahanmu, maka berarti kamu sedang kembali pada poin bencimu. Bagiku, cukup sesederhana itu saja.
“Lalu bagaimana untuk saat ini? ketika aku kembali mencintai tempat yang telah kubenci meski pernah aku sukai?”
“Ya, berarti kamu sedang bernostalgia dengan rasa suka yang pernah kamu miliki padanya. Tidak ada manusia yang jatuh cinta atau benci dua kali pada satu hal, kawan! Yang ada hanyalah pengulangan-pengulangan pada hal yang sama. Sekali kamu kembali pada poin sukamu yang telah lalu, maka kamu juga akan selalu dikembalikan kepada poin bencimu yang telah lalu”
“Wah, aku merasakan dilema kawan. Apakah akan meneruskan rasa suka ini ataukah tidak jadi saja kembali ke tempat itu. Mendengarkanmu, aku menjadi takut untuk kembali menyukai tempat itu karena tahu akan kembali membencinya.
“Jika kamu ragu, ya tidak usah kesana lagi. Tapi sebagai bahan renungan terakhir, banyak juga orang yang memilih untuk berkunjung kembali lalu menemukan bahwa kebenciannya tidak setara dengan kebegitu sukaannya kepada tempat itu. Namun, di sisi lain banyak juga yang memutuskan kembali dan justru menemukan bahwa kebegitu benciannya kepada tempat itu tidak setara dengan kesukaan yang ia miliki”
“Lalu, yang baik orang yang manakah kawan?” tanyanya dalam kebingungan.
“Yang harus kamu mengerti bahwa ini bukan tentang baik atau buruk. Ini tentang memiliki pemahaman yang benar terhadap apa yang pernah, akan dan sedang kita lakukan. Ini tentang sesuatu yang kita sebut dengan “tahu diri”. Tentang kemengertian pada apa yang akan kita hadapi dan apa yang telah (ada) kita miliki. Banyak orang berhasil dimanipulasi oleh keinginannya lalu berkata, “Ah, aku bisa mengendalikannya”, “Ah, aku bisa mengurusnya, “Ah, aku bisa mengalahkannya,” namun sesungguhnya ia tidak memiliki cukup daya untuk melakukan itu.”
“Lalu saranmu?”
“Saranku, lakukan apa yang bisa dan mampu kamu lakukan kawan. Jangan terpukau dengan impianmu yang justru tidaklah begitu penting. Banyak-banyaklah berspekulasi dan bertanya kepada diri tentang apakah yang mesti kamu lakukan. Karena terkadang ini bukan hanya masalah suka atau benci saja kawan, bukan tentang siklus perasaan saja. Ini sebetulnya lebih kepada diri kita, tentang kita yang sebenarnya”
“Baiklah sudah mulai terang kawan, jika demikian kita ke danau sajalah sekarang. Kan kamu selalu suka kepada danau bukan?”
“Hm… ya, atau mungkin lebih tepatnya “aku masih menyukai danau” kawan” jawabku.
Perbincangan kami berakhir ketika sebuah minibus yang akan membawa kami ke danau tampak menunggu di luar taman.
“Kawan, mengapa aku kembali merasa suka kepada bukit batu ya? Padahal aku telah membencinya meski dahulu memang juga pernah menyukainya.”
Sembari memikirkan jawaban yang hendak kuberikan, aku mengajaknya berkeliling taman. Tiba-tiba seekor tupai melintas tepat di hadapan kami. Itu adalah tupai berbulu putih yang sangat cantik. Temanku ini, langsung berdecak kagum. Pada saat itu juga aku seperti mendapatkan ide untuk menjawab pertanyaanya.
“Kawan, apakah kamu suka tupai?”
“Iya, binatangnya lucu, mungil, cerdik, dan lincah”
“Namun bukankah tupai suka mencuri juga?” tanyaku.
“Iya betul. Tapi kan hampir semua binatang seperti itu juga kawan” balasnya.
“Lalu bagaimana dengan kentutnya yang sangat bau kawan?”
“Ya, itu kan cara tupai mempertahankan diri kawan, tidak juga bisa disalahkan”
“Hm… Jika demikian maka agaknya pertanyaanmu tentang tempat yang kamu benci dan pernah sukai tadi terjawab sudah”
“Dari bagian mana?” tanyanya ragu.
“Ya, dari bagian kamu menyukai indahnya tupai dan kamu bisa memahami keburukannya”
“Hm…” wajahnya masih bingung.
“Begini kawan, sebanyak yang aku tahu rasa suka dan benci kita kepada sesuatu tidak akan pernah berubah jika ia benar dan bukan hasil manipulasi. Kita akan menyukai sesuatu dan atau membenci sesuatu selalu berdasarkan alasan yang sama. Ketika kamu masih tertarik maka itu berarti suka dan ketika kamu sudah tidak lagi tertarik atau jengah maka itu berarti benci. Lalu ketika kamu kembali tertarik dan menerimanya, berarti kamu kembali pada poin tatkala pernah menyukainya. Dan ketika kamu ingat akan kejengahanmu, maka berarti kamu sedang kembali pada poin bencimu. Bagiku, cukup sesederhana itu saja.
“Lalu bagaimana untuk saat ini? ketika aku kembali mencintai tempat yang telah kubenci meski pernah aku sukai?”
“Ya, berarti kamu sedang bernostalgia dengan rasa suka yang pernah kamu miliki padanya. Tidak ada manusia yang jatuh cinta atau benci dua kali pada satu hal, kawan! Yang ada hanyalah pengulangan-pengulangan pada hal yang sama. Sekali kamu kembali pada poin sukamu yang telah lalu, maka kamu juga akan selalu dikembalikan kepada poin bencimu yang telah lalu”
“Wah, aku merasakan dilema kawan. Apakah akan meneruskan rasa suka ini ataukah tidak jadi saja kembali ke tempat itu. Mendengarkanmu, aku menjadi takut untuk kembali menyukai tempat itu karena tahu akan kembali membencinya.
“Jika kamu ragu, ya tidak usah kesana lagi. Tapi sebagai bahan renungan terakhir, banyak juga orang yang memilih untuk berkunjung kembali lalu menemukan bahwa kebenciannya tidak setara dengan kebegitu sukaannya kepada tempat itu. Namun, di sisi lain banyak juga yang memutuskan kembali dan justru menemukan bahwa kebegitu benciannya kepada tempat itu tidak setara dengan kesukaan yang ia miliki”
“Lalu, yang baik orang yang manakah kawan?” tanyanya dalam kebingungan.
“Yang harus kamu mengerti bahwa ini bukan tentang baik atau buruk. Ini tentang memiliki pemahaman yang benar terhadap apa yang pernah, akan dan sedang kita lakukan. Ini tentang sesuatu yang kita sebut dengan “tahu diri”. Tentang kemengertian pada apa yang akan kita hadapi dan apa yang telah (ada) kita miliki. Banyak orang berhasil dimanipulasi oleh keinginannya lalu berkata, “Ah, aku bisa mengendalikannya”, “Ah, aku bisa mengurusnya, “Ah, aku bisa mengalahkannya,” namun sesungguhnya ia tidak memiliki cukup daya untuk melakukan itu.”
“Lalu saranmu?”
“Saranku, lakukan apa yang bisa dan mampu kamu lakukan kawan. Jangan terpukau dengan impianmu yang justru tidaklah begitu penting. Banyak-banyaklah berspekulasi dan bertanya kepada diri tentang apakah yang mesti kamu lakukan. Karena terkadang ini bukan hanya masalah suka atau benci saja kawan, bukan tentang siklus perasaan saja. Ini sebetulnya lebih kepada diri kita, tentang kita yang sebenarnya”
“Baiklah sudah mulai terang kawan, jika demikian kita ke danau sajalah sekarang. Kan kamu selalu suka kepada danau bukan?”
“Hm… ya, atau mungkin lebih tepatnya “aku masih menyukai danau” kawan” jawabku.
Perbincangan kami berakhir ketika sebuah minibus yang akan membawa kami ke danau tampak menunggu di luar taman.
#written by Da_Riaz
Hmmphh... terhadap tulisan kawan ini aku hanya bisa mengomentari logonya...
Oya..
great logo., masih cinta yang menaungi benci, bukan benci yang
dikedepankan... Benci "hanya" menjadi shadow yang selalu dikaburkan oleh
cahaya cinta. Atau bisa jadi karena cinta itu bercahayalah maka benci itu
selalu membayangi... hehehe
Thanks My Bro... :)
ReplyDeleteHehehe... Thank U Bro.., kan Ane dah bilang mo pajang di laman Ane,, :) Ane suka dengan cara pandang 2 arah bahkan lebih yang ente tampilkan untuk tiap tema yang ente coba angkat..
Delete