Sumpah Pemuda; Balutan Warna Dalam Harmonisasi Semesta
Apa yang anda pikirkan tentang warna? Merah, kuning, hijau, biru? Fisikawan sekelas Newton menempatkan warna sebagai bagian sinar dalam spektrum yang bergantung pada gelombang cahayanya. Dalam dunia desain, warna bisa berarti pantulan tertentu dari cahaya yang dipengaruhi oleh pigmen yang terdapat di permukaan benda. Misalnya campuran pigmen magenta dan cyan secara proporsional jika disinari cahaya putih sempurna akan menghasilkan sensasi mirip warna merah. Dalam konteks global, warna menjadi identitas suatu entitas tertentu.
Pada kondisi tertentu, warna putih akan memberi kesan suci dan dingin karena berasosiasi dengan salju. Sementara di kebanyakan negara timur warna putih memberi kesan kematian dan sangat menakutkan karena berasosiasi dengan kain kafan. Simpelnya, anda bisa mengetahui identitas sebuah negara hanya dengan melihat warna bendera negara tersebut; merah putih untuk Indonesia, jika dibalik (putih merah) itu berarti Polandia, atau tambah aja dengan warna biru (menjadi merah putih biru) untuk negara Belanda. Saya jadi ingat ketika arek-arek surabaya di tahun 1948 berkorban mati-matian menaiki menara Hotel Yamato (sekarang Hotel Majapahit) hanya untuk merobek warna biru bendera Belanda. Bagi arek-arek Surabaya waktu itu sebuah warna bendera sangat penting, bukan sebatas simbol identitas sebuah negara melainkan eksistensi kedaulatan sebuah bangsa.
Bagaimana jika warna kemudian dimonopoli atas nama egoisme kekuasaan atau egoisme kelompok tertentu? Coba kita perhatikan jagad politik di Indonesia, warna kuning menjadi hegemoni Golkar, warna merah identik dengan PDI (perjuangan), wana hijau untuk PPP, hijau berbalut putih untuk PKB, biru milik DEMOKRAT, biru muda untuk PAN, atau putih bergaris hitam untuk PKS. Sewaktu kecil saya pernah memakai baju warna kuning, dan serentak teman-teman sepermainan menjuluki saya (orang) Golkar, ha..ha..ha..
Di lingkungan kampus, warna juga menjadi identitas organisasi tertentu. Jika anda aktivis HMI, maka warna kebesaran anda adalah hijau hitam, PMII adalah biru muda, merah menyala adalah FMN, merah hati miliknya IMM, hijau untuk IPNU, dan putih untuk KAMMI atau HTI. Jika anda menjadi anggota salah satu organisasi tersebut, sudah jelas anda harus menyesuaikan diri dengan identitas organisasi yang anda usung. IMM sering-seringlah pake jas merah, IPNU ya pake warna hijau, bahkan di HMI kopiah saja warnanya hijau hitam, meskipun sejatinya kopiah dalam kebudayaan Indonesia identik dengan warna hitam.
Dalam ranah sepak bola di Indonesa terkesan agak ekstrim, warna hijau (buaya) identitas Bonek Surabaya, biru gelap khas Arema, biru langit milik Persela, dan Merah milik Semen Padang. Saat bonek bentrok dengan laskar joko tingkir (fans berat Persela) beberapa tahun yang lalu, jangan berani-berani seliweran ke basis Bonek jika anda memakai baju warna biru langit, meskipun anda memakai baju tersebut karena anda fans berat Mancity (kebetulan warna jersey mirip Persela). Begitu juga sebaliknya, jangan berani-berani jalan-jalan ke Lamongan dengan warna baju corak buaya, anda bisa pulang dengan hanya tinggal nama.
Saya heran, sejak kapan warna berbasis egoisme kelompok, sejak kapan ruang warna terbatas oleh identias sebuah kekuasaan. Sejak kapan warna itu menjadi milikmu, warna ini milik mereka, yang agak begini milik dia, dan yang seperti ini milik kita (umpamanya). Yah begitulah kenyataannya..
Saya rindu dengan kajian filosofis tentang filsafat estetika sederhana di kampus dulu. Dalam kajian filsafat estetika (masa realisme) keindahan berarti kemampuan menyajikan sesuatu dalam keadaan apa adanya, dan itu salah satunya bisa didapat dari kemampuan mengkomposisikan warna dan ruang serta kemampuan mengabstraksi benda.
Pada kondisi tertentu, warna putih akan memberi kesan suci dan dingin karena berasosiasi dengan salju. Sementara di kebanyakan negara timur warna putih memberi kesan kematian dan sangat menakutkan karena berasosiasi dengan kain kafan. Simpelnya, anda bisa mengetahui identitas sebuah negara hanya dengan melihat warna bendera negara tersebut; merah putih untuk Indonesia, jika dibalik (putih merah) itu berarti Polandia, atau tambah aja dengan warna biru (menjadi merah putih biru) untuk negara Belanda. Saya jadi ingat ketika arek-arek surabaya di tahun 1948 berkorban mati-matian menaiki menara Hotel Yamato (sekarang Hotel Majapahit) hanya untuk merobek warna biru bendera Belanda. Bagi arek-arek Surabaya waktu itu sebuah warna bendera sangat penting, bukan sebatas simbol identitas sebuah negara melainkan eksistensi kedaulatan sebuah bangsa.
Bagaimana jika warna kemudian dimonopoli atas nama egoisme kekuasaan atau egoisme kelompok tertentu? Coba kita perhatikan jagad politik di Indonesia, warna kuning menjadi hegemoni Golkar, warna merah identik dengan PDI (perjuangan), wana hijau untuk PPP, hijau berbalut putih untuk PKB, biru milik DEMOKRAT, biru muda untuk PAN, atau putih bergaris hitam untuk PKS. Sewaktu kecil saya pernah memakai baju warna kuning, dan serentak teman-teman sepermainan menjuluki saya (orang) Golkar, ha..ha..ha..
Di lingkungan kampus, warna juga menjadi identitas organisasi tertentu. Jika anda aktivis HMI, maka warna kebesaran anda adalah hijau hitam, PMII adalah biru muda, merah menyala adalah FMN, merah hati miliknya IMM, hijau untuk IPNU, dan putih untuk KAMMI atau HTI. Jika anda menjadi anggota salah satu organisasi tersebut, sudah jelas anda harus menyesuaikan diri dengan identitas organisasi yang anda usung. IMM sering-seringlah pake jas merah, IPNU ya pake warna hijau, bahkan di HMI kopiah saja warnanya hijau hitam, meskipun sejatinya kopiah dalam kebudayaan Indonesia identik dengan warna hitam.
Dalam ranah sepak bola di Indonesa terkesan agak ekstrim, warna hijau (buaya) identitas Bonek Surabaya, biru gelap khas Arema, biru langit milik Persela, dan Merah milik Semen Padang. Saat bonek bentrok dengan laskar joko tingkir (fans berat Persela) beberapa tahun yang lalu, jangan berani-berani seliweran ke basis Bonek jika anda memakai baju warna biru langit, meskipun anda memakai baju tersebut karena anda fans berat Mancity (kebetulan warna jersey mirip Persela). Begitu juga sebaliknya, jangan berani-berani jalan-jalan ke Lamongan dengan warna baju corak buaya, anda bisa pulang dengan hanya tinggal nama.
Saya heran, sejak kapan warna berbasis egoisme kelompok, sejak kapan ruang warna terbatas oleh identias sebuah kekuasaan. Sejak kapan warna itu menjadi milikmu, warna ini milik mereka, yang agak begini milik dia, dan yang seperti ini milik kita (umpamanya). Yah begitulah kenyataannya..
Saya rindu dengan kajian filosofis tentang filsafat estetika sederhana di kampus dulu. Dalam kajian filsafat estetika (masa realisme) keindahan berarti kemampuan menyajikan sesuatu dalam keadaan apa adanya, dan itu salah satunya bisa didapat dari kemampuan mengkomposisikan warna dan ruang serta kemampuan mengabstraksi benda.
Pada hari ulang tahun kemerdekaan RI anda akan banyak melihat kombinasi lampu-lampu kecil berwarna-warni di sela-sela gagahnya sang saka merah putih. Anda belum tau kan maksud rangkaian lampu-lampu kecil berwarna-warni tersebut? Lampu-lampu tersebut menggambarkan kebhinekaan bangsa Indonesia. Kita boleh berbeda-beda, kita boleh berwarna-warni, namun hakikatnya kita itu satu, kita itu padu, merah putih Indonesia. Percaya atau tidak itulah salah satu wujud keindahan, wujud keharmonisan, wujud semarak kemerdekaan, wujud persatuan. Seperti saat kita melihat pelangi di sebuah ngarai, kita akan melihat bagaimana Tuhan menghimpun warna yang berbeda-beda menjadi satu, sebagai wujud keharmonisan, bukti keagungan ciptaan-Nya. Lain halnya jika anda melihat atribut-atribut partai di berbagai wajah jalan raya saat menjelang pemilu nanti. Berwarna-warni memang ada merah, kuning, hijau, biru, ungu, putih dan lain sebagainya (seperti pelangi), namun jika warna tersebut berbasis egoisme kelompok, berwajah suram kekuasan, dan beraroma persaingan (tidak sehat) dan kebencian menjadikan harmoni warna hilang dan bias dari keindahan.
Menurut hemat saya, warna sebenarnya wujud implementasi keindahan Tuhan. Coba anda perhatikan bagaimana Tuhan menerjemahkan warna dengan cukup sederhana namun indah untuk kita dan alam semesta. Contoh sederhananya tergambar dalam ungkapan seperti ini;
Atau coba simak keindahan ungkapan warna dalam syair berikut ini;
Menurut hemat saya, warna sebenarnya wujud implementasi keindahan Tuhan. Coba anda perhatikan bagaimana Tuhan menerjemahkan warna dengan cukup sederhana namun indah untuk kita dan alam semesta. Contoh sederhananya tergambar dalam ungkapan seperti ini;
Ketika malam mulai gelap meng-hitam, nikmatilah deretan putih gugusan galaksi di sudut langit. Saat langit di ujung timur berpendar kuning keemasan lalu bergaris putih lembut, maka bersiaplah menyongsong pagi dengan berseri. Daun-daun bergelantungan di pohon-pohon besar itu berwarna hijau ranum, jika banyak yang kemudian beralih warna menjadi ke-coklat-an dan berguguran, maka pertanda pohon telah meminimalisir kadar uap terik matahari dan bersiap menyongsong musim kemarau, dan seterusnya..
Atau coba simak keindahan ungkapan warna dalam syair berikut ini;
Aku melihatmu di balik tirai..
Rambutmu yang hitam, terbiak bersama kerudung putih-mu,
Oleh angin..
Rona merah-mu terpancar mencubit lesung pipit,
Berpadu dengan ke dua bola mata yang hitam menghimpit,
Beriring senyuman.. Bergaris putih di antara dua bibir..
Bak lengkungan indah bulat sabit..
Bagaimana kawan indah bukan..?
Atau begini, anda alergi dengan kata-kata di film-film misteri seperti ini “wahai sang penguasa kegelapan sang penguasa dunia hitam”, ha..ha.. Gara-gara kata-kata itu sebagian besar dari kita alergi dengan kegelapan dan serba (dunia) hitam. Padahal anda tidak sadar dalam ilmu astronomi hakikat kegelapan, serba hitam tak berujung, hening dan sepi di alam semesta ini dan satu-satunya yang telah teridentifikasi ada oleh ilmuwan adalah black hole atau lubang hitam. Dan sebagai makhluk yang bertuhan, tentu kita harus yakin bahwa sang penguasa kegelapan, sang penguasa (alam/dunia hitam) atau black hole adalah Tuhan Yang Maha Esa, sang penguasa seluruh semesta.
Warna akan benar-benar menjadi warna sesungguhnya yang senantiasa unik dan indah, jika kita mampu menempatkan warna pada instrumen-instrumen keindahan ciptaan-Nya. Sebaliknya, warna justru seolah pudar bahkan kering dan bias dari keindahan, ketika warna diplot sebagai indentitas kelompok tertentu yang berbasis egoisme, kekuasaan, dan kebencian.
Kawan.. kita memang berwarna-warni, namun bertumpah darah satu, tanah air Indonesia.
Kita memang berwarna-warni, namun berbangsa satu, bangsa Indonesia.
Kita memang berwarna-warni, namun berbahasa satu, bahasa Indonesia.
Selmat hari sumpah pemuda, semoga hidup anda senantiasa berwarna dalam harmonisasi semesta.
Atau begini, anda alergi dengan kata-kata di film-film misteri seperti ini “wahai sang penguasa kegelapan sang penguasa dunia hitam”, ha..ha.. Gara-gara kata-kata itu sebagian besar dari kita alergi dengan kegelapan dan serba (dunia) hitam. Padahal anda tidak sadar dalam ilmu astronomi hakikat kegelapan, serba hitam tak berujung, hening dan sepi di alam semesta ini dan satu-satunya yang telah teridentifikasi ada oleh ilmuwan adalah black hole atau lubang hitam. Dan sebagai makhluk yang bertuhan, tentu kita harus yakin bahwa sang penguasa kegelapan, sang penguasa (alam/dunia hitam) atau black hole adalah Tuhan Yang Maha Esa, sang penguasa seluruh semesta.
Warna akan benar-benar menjadi warna sesungguhnya yang senantiasa unik dan indah, jika kita mampu menempatkan warna pada instrumen-instrumen keindahan ciptaan-Nya. Sebaliknya, warna justru seolah pudar bahkan kering dan bias dari keindahan, ketika warna diplot sebagai indentitas kelompok tertentu yang berbasis egoisme, kekuasaan, dan kebencian.
Kawan.. kita memang berwarna-warni, namun bertumpah darah satu, tanah air Indonesia.
Kita memang berwarna-warni, namun berbangsa satu, bangsa Indonesia.
Kita memang berwarna-warni, namun berbahasa satu, bahasa Indonesia.
Selmat hari sumpah pemuda, semoga hidup anda senantiasa berwarna dalam harmonisasi semesta.
#Credit to Gus Choi
Post a Comment for "Sumpah Pemuda; Balutan Warna Dalam Harmonisasi Semesta"