Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pandangan Ekonomi Abû ‘Ubaid

Uang
Filosofi Hukum dari Sisi Ekonomi

Jika isi buku Abû ‘Ubaid dievaluasi dari sisi filsafat hukum maka akan tampak bahwa Abû ‘Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Baginya, implementasi dari prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya ia memiliki pendekatan yang berimbang kepada hak-hak individual, publik dan negara; jika kepentingan individual berbenturan dengan kepentingan publik maka ia akan berpihak pada kepentingan publik.

Tulisan-tulisan Abû ‘Ubaid lahir pada masa kuatnya Dinasti Abbasiyah dan tidak ada masalah legitimasi, sehingga pemikirannya seringkali menekankan pada kebijakan khalifah untuk membuat keputusan (dengan kehati-hatian). Khalifah diberikan kebebasan memilih di antara alternatif pandangannya asalkan dalam tindakannya itu berdasarkan pada ajaran Islam dan diarahkan pada kemanfaatan kaum Muslim, yang tidak berdasarkan pada kepentingan pribadi. Sebagai contoh, Abû ‘Ubaid berpendapat bahwa zakat dari tabungan dapat diberikan pada negara ataupun penerimanya sendiri, sedangkan zakat komoditas harus diberikan kepada pemerintah, jika tidak maka kewajiban agama diasumsikan tidak ditunaikan.

Lebih jauh, pengakuannya terhadap otoritas imam dalam memutuskan untuk kepentingan publik seperti membagi tanah taklukan pada para penakluk ataupun membiarkan kepemilikannya pada penduduk setempat atau lokal, adalah termasuk dalam hal tersebut. Mirip dengan itu setelah mengungkap alokasi dari khums, ia menyebutkan bahwa imam yang adil dapat memperluas batasan-batasan yang telah ditentukan apabila mendesaknya kepentingan publik. Akan tetapi di lain pihak, Abû ‘Ubaid dalam pembahasannya secara tegas menekankan bahwa pembendaharaan negara tidak boleh disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan pribadinya. Perbendaharaan negara harus digunakan untuk kepentingan atau kemanfaatan publik.

Saat membahas tentang tarif atau persentase untuk pajak tanah dan poll-tax, ia menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial dari subyek non-Muslim, dalam finansial modern disebut sebagai “capacity to pay” (kemampuan membayar) dan juga memperhatikan kepentingan para penerima Muslim. Pasukan Muslim atau karavan Muslim yang lewat di atas tanah subjek non-Muslim dilarang untuk ditarik uang atau biaya yang melebihi apa yang diperbolehkan oleh perjanjian perdamaian.

Ia membela pendapat bahwa tarif pajak kontraktual tidak dapat dinaikkan tapi dapat diturunkan jika terjadi ketidakmampuan membayar serius. Lebih jauh Abû ‘Ubaid mengatakan jika permohonan pembebasan hutang disaksikan oleh saksi Muslim, maka komoditas komersial subyek Muslim setara dengan jumlah hutangnya itu akan dibebaskan dari cukai (duty free). Ia juga menjelaskan beberapa bab untuk menekankan, di satu sisi bahwa pengumpul kharaj, jizyah, ‘ushur atau zakat tidak boleh menyiksa subyeknya dan di sisi lain bahwa para subyek harus memenuhi kewajiban finansialnya secara teratur dan pantas (wajar).

Dengan perkataan lain, Abû ‘Ubaid berupaya untuk menghentikan terjadinya diskriminasi atau penindasan dalam perpajakan serta terjadinya penghindaran terhadap pajak (tax evasion). Pada beberapa kasus ia tidak merujuk pada kharaj yang dipelopori oleh Khalifah Umar ataupun ia melihat adanya permasalahan dalam meningkatkan ataupun menurunkannya berdasarkan situasi dan kondisi membuat kita berpikir bahwa Abû ‘Ubaid mengadopsi qawâ’id fiqh, “lâ yunkaru taghayyiru al-fatwâ bi taghayyur al-‘azminah” (keberagaman aturan atau hukum karena perbedaan waktu atau periode tidak dapat dielakkan). Namun, betapapun keberagaman tersebut terjadi hanya sah apabila aturan atau hukum tersebut diputuskan melalui suatu ijtihad yang didasarkan pada nash.


Dikotomi Badui (masyarakat tradisional/desa) ke Urban (masyarakat kota)

Abû ‘Ubaid menegaskan bahwa berbeda dengan kaum badui, kaum urban atau perkotaan: 1) ikut terhadap keberlangsungan negara dengan berbagi kewajiban administrasi dari semua muslim; 2) memelihara dan memperkuat pertahanan sipil melalui mobilisasi jiwa dan harta mereka; 3) menggalakkan pendidikan dan pengajaran melalui pembelajaran dan pengajaran al-Qur’an dan al-Sunnah dengan diseminasi (penyebaran) keunggulan kualitas isinya; 4) melakukan kontribusi terhadap keselarasan sosial melalui pembelajaran dan penerimaan hudud (prescribed finalties); 5) memberikan contoh universalisme Islam dengan shalat berjamaah pada waktu Jum’at dan ‘Id.

Singkatnya di samping keadilan ‘Abû ‘Ubaid mengembangkan suatu negara Islam yang berdasarkan administrasi pertahanan, pendidikan, hukum dan cinta. Karakteristik tersebut hanya diberikan oleh Allah kepada kaum Urban, kaum Badui biasanya tidak menyumbang pada kewajiban publik sebagaimana kewajiban kaum Urban, tidak dapat menerima manfaat pendapatan fai’ seperti kaum Urban, mereka tidak berhak menerima tunjangan dan provisi dari negara, mereka memiliki hak klaim sementara terhadap penerimaan fai’  hanya pada saat terjadi tiga kondisi krisis seperti saat invasi atau penyerangan musuh, kekeringan yang dahsyat, dan kerusuhan sipil. Abû ‘Ubaid memperluas aturan ini pada masyarakat pegunungan dan pedesaan, sementara ia memberikan kepada anak-anak perkotaan hak yang sama dengan orang dewasa terhadap tunjangan walaupun kecil yang berasal dari pendapatan fai’, yang mungkin karena menganggap mereka (anak-anak) sebagai penyumbang potensial terhadap kewajiban publik yang terkait. Lebih lanjut Abû ‘Ubaid mengakui adanya hak dari para budak perkotaan terhadap arzak (jatah) yang bukan tunjangan.

Dari semua ini Abû ‘Ubaid membedakan antara kehidupan para badui dengan kultur menetap perkotaan dan mengembangkan komunitas muslim atas dasar perhargaan martabat perkotaan. Solidaritas serta kerjasama merasakan kohesi sosial berorientasi urban dan komitmen vertikal dan horizontal sebagai unsur esensial dari stabilitas sosio politik dan makroekonomi. Namun, mekanisme yang disebut di atas meminjam banyak dari universalisme Islam membuat kultur perkotaan unggul dan dominan dibanding kehidupan nomaden. Tetapi cukup mengejutkan bahwa Abû ‘Ubaid tidak dapat mengambil langkah selanjutnya dan berspekulasi pada isu-isu pembagian kerja (division of labour), surplus produksi, pertukangan dan lainnya dalam hubungan dengan organisasi perkotaan untuk kerjasama. Sebenarnya, dalam hal ini analisa Abû ‘Ubaid lebih jelas dari sisio-politis dibanding ekonomi. Dari apa yang dibahas sejauh ini dapat terbukti bahwa Abû ‘Ubaid selalu memelihara keseimbangan antara hak-hak dengan kewajiban-kewajiban warganegara.

Kepemilikan dalam Pandangan Kebijakan Perbaikan Pertanian

Abû ‘Ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan publik karena pendekatan terhadap kepemilikan tersebut sudah sangat dikenal dan dibahas secara luas oleh banyak ulama. Sesuatu yang baru dalam hubungan antara kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian ditemukan oleh Abû ‘Ubaid secara implisit. Menurutnya, kebijakan pemerintahan seperti iqtâ’ terhadap tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual dari tanah tandus atau tanah yang sedang diusahakan kesuburannya atau diperbaiki sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Jika dibiarkan sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Jika dibiarkan menganggur selama tiga tahun berturut-turut akan didenda dan kemudian akan dialihkan kepemilikannya oleh imam. Bahkan tanah gurun yang termasuk dalam hima, pribadi dengan maksud untuk direklamasi jika tidak ditanami dalam periode yang sama dapat ditempati oleh orang lain dengan proses yang sama. Pemulihan yang sebenarnya adalah pada saat tanah tersebut ditanami setelah diairi, manakala tandus, kering atau rawa-rawa.

Adalah tidak cukup dalam kepemilikan sepetak tanah mati dan yang terkandung di dalamnya hanya dengan menggali sebuah sumur lalu meninggalkannya begitu saja; setelah itu jika tidak diberdayakan atau ditanami tiga tahun berturut-turut hanya harim dari sumber air tersebut yang dapat dimiliki, sedangkan yang lainnya menjadi terbuka untuk direklamasi dan selanjutnya ditempati orang lain.

Jadi, menurut Abû ‘Ubaid sumber dari publik seperti sumber air, pada rumput penggembalaan dan tambang minyak tidak boleh pernah dimonopoli seperti pada hima (tanam pribadi). Semua ini hanya dapat dimasukkan ke dalam kepemilikan negara yang digunakan untuk pelayanan masyarakat.

Pertimbangan Kepentingan


Setelah merujuk pada banyak pendapat tentang seberapa besar seseorang berhak menerima zakat. Abû ‘Ubaid sangat tidak setuju dengan mereka yang berpendapat bahwa pembagian yang sama antara delapan kelompok dari penerima zakat dan cenderung untuk meletakkan suatu batas tertinggi (ceiling) terhadap penerimaan perorangan. Bagi Abû ‘Ubaid yang paling penting adalah memenui kebutuhan dasar seberapapun besarnya serta bagaimana menyelamatkan orang-orang dari kelaparan dan kekurangan, tetapi pada waktu yang sama Abû ‘Ubaid tidak memberikan hak penerimaan kepada orang yang memiliki 40 dirham (harta lain yang setara) di samping pakaian, rumah dan pelayan (yang ia anggap sebagai suatu standar hidup hidup minimum). Abû ‘Ubaid menganggap bahwa seseorang yang memiliki 200 dirham (jumlah minimum wajib zakat) sebagai orang kaya sehingga ada kewajiban zakat terhadap orang tersebut.

Karenanya pendekatan ini mengindikasikan adanya tiga tingkatan sosio ekonomi pengelompokan yang terkait dengan status zakat yaitu kalangan kaya yang terkena wajib zakat, kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat tetapi juga tidak berhak menerima zakat, kalangan penerima zakat (mustahik). Berkaitan dengan itu ia mengemukakan pentingnya distribusi kekayaan melalui zakat. Secara umum‘Abû ‘Ubaid mengadopsi prinsip “bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya masing-masing” (likulli wâhidin hasba hâjatihi) dan ia secara mendasar lebih condong pada prinsip “bagi setiap orang adalah menurut haknya”, pada saat ia membahas jumlah zakat (pajak) yang dibagi kepada pengumpulnya (pengelola) atas kebijakan imam.

Fungsi Uang

Abû ‘Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang yang tidak mempunyai nilai intrinsik sebagai standar dari nilai pertukaran (standard of exchange value) dan sebagai media pertukaran (medium of exchange). Tampak jelas bahwa pendekatan ini menunjukkan dukungan Abû ‘Ubaid terhadap teori ekonomi mengenai yang logam, ia merujuk pada kegunaan umum dan relatif konstannya nilai emas dan perak dibanding dengan komoditas yang lain. Jika kedua benda tersebut digunakan sebagian komoditas maka nilainya akan dapat berubah-ubah pula karena dalam hal tersebut keduanya akan memainkan peran yang berbeda sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang lainnya. Walaupun Abû ‘Ubaid tidak menyebutkan fungsi penyimpanan nilai (store of value) dari emas dan perak, ia secara implisit mengakui adanya fungsi tersebut ketika membahas tentang jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena zakat dan jumlah zakatnya.

Abû ‘Ubaid mengungkap sebuah bab terpisah untuk penimbangan dan pengukuran yang digunakan di dalam menghitung beberapa kewajiban finansial dalam kaitannya memenuhi kewajiban agama atau benda, yang juga merupakan ciri khusus dari kitâb al-Amwal di antara buku-buku lain sejenis ini. Dalam bab lain diceritakan usaha Khalifah Abdul Malik ibn Marwan dalam melakukan standarisasi dari berbagai mata uang yang ada dalam sirkulasi.

Penutup

Melalui pendekatan sejarah sosial dapat dilihat bahwa sebuah produk pemikiran hukum Islam pada dasarnya merupakan hasil interaksi pemikir itu sendiri dengan lingkungan sosio-kultural atau sosio-politiknya. Demikian hal ini juga tampak dalam pemikiran Abû ‘Ubaid. Kondisi pemerintahan Dinasti Abbasiyah yang sangat legitimate dan situasi keilmuan yang kondusif telah memberikan warna dalam pemikiran Abû ‘Ubaid. Dalam hubungan antara penguasa dengan rakyat Abû ‘Ubaid lebih menempatkan pada otoritas dan kebijakan penguasa. Ia rupanya begitu percaya dan yakin terhadap khalifah akan membuat keputusan yang adil dan senantiasa berorientasi pada kepentingan rakyat. Hal ini sangat wajar karena para khalifah pada masanya secara integritas dan kapabilitas dapat menjalankan tugasnya dengan baik.

Abû ‘Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Baginya, pengimplementasian dari prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya ia memiliki pendekatan yang berimbang kepada hak-hak individual, publik, dan negara; jika kepentingan individual berbenturan dengan kepentingan publik maka ia akan berpihak pada kepentingan publik. Inti dari pemikiran Abû ‘Ubaid adalah memberikan panduan etik dan moral dalam hal distribusi keuangan publik (public finance) secara adil.

Metode Abû ‘Ubaid adalah kerangka kerja doktrinal, wawasan analitis dan rekomendasi kebijakan dalam kaitan terhadap tujuan-tujuan syari’ah serta kontes sosial dan sejarahnya. Ia mampu mengartikulasikan ajaran hukum yang langsung bersumber dari nash yaitu al-Qur’an dan al-Hadis, serta atsar sahabat, dan tradisi masa awal Islam itu dapat dinilai dan diaplikasikan sesuai dengan kepentingan masanya.

Abû ‘Ubaid hidup pada suasana Baghdad yang kosmopolit dan heterogen dimana persoalan masyarakat juga lebih kompleks dibandingkan wilayah lainnya. Suasana yang kondusif dan tradisi ilmiah membuat para ulama yang hidup di wilayah itu cenderung menggunakan ra’yu (rasio), hal ini terlihat misalnya pada pemikiran Imâm ‘Abû Hanîfah. Berbeda dengan Imâm Mâlik yang hidup di wilayah Hijaz, penduduk di wilayah ini dekat dengan pusat kekuasaan Nabi dan Khulafa al-Rasyidin dimana penyebaran Hadis lebih banyak dan lebih lengkap daripada wilayah lainnya. Bagi Abû ‘Ubaid, meskipun cukup lama tinggal di Baghdad tetapi ia sangat handal dan menguasai Hadis. Karenanya dalam pemikirannya senantiasa mengikuti Sunnah Nabi, akan tetapi ia juga memanfaatkan logika dan memakai rasio (ra’yu), meski sangat hati-hati. 
Abû ‘Ubaid berpendapat bahwa aturan umum dari Sunnah dapat dispesifikasi dengan Sunnah itu sendiri, tidak dengan menggunakan ra’yu (rasio). Sunnah dapat dibatalkan dengan Sunnah yang lainnnya atau dengan ayat al-Qur’an. Sumber ketiga yang digunakan ‘Abû Ubaid adalah ijma’ al-ummah (kesepakatan). Tampak bahwa Abû ‘Ubaid sangat membatasi penggunaan analogi dimana ia hanya menggunakannya jika tidak terdapat landasan yang jelas dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Hukum untuk kasus-kasus yang mempunyai sifat berbeda tidak boleh dianalogikan (disamakan) satu sama lainnya, sehingga hanya analogi kategoristik dan struktural yang dapat ditemukan dalam metode hukum. Juga setiap hukum dari Sunnah dibatasi untuk hal yang ditentukan (oleh Sunnah itu sendiri) dan tidak dapat dianalogikan (atau disamakan) dengan yang lain.

Abû ‘Ubaid tidak memberikan pandangannya pada suatu kasus jika ia tidak menemukan landasannya di dalam al-Qur’an dan al-Hadis, walaupun begitu ia memberikan tempat bagi maqâsid asy-syarî’ah dalam melakukan ketetapan hukum. Sehubungan dengan ini, manfaat bagi publik (al-maslahah al-‘âmmah) merupakan penentu akhir dalam memilih alternatif dari ijtihad. Ia juga membagi keputusan hukum yang kontroversial menjadi terakreditasi dan tidak terakreditasi dengan merujuk pada otoritas dan ulama yang ternama saja. Preferensi Abû ‘Ubaid terhadap pendapat para ulama yang kontroversial yang telah lama diaplikasikan membuktikan bahwa ia memberi ruang pada ta’amul (hukum adat atau tradisi)

Pemikiran‘Abû ‘Ubaid merupakan rujukan dalam pengembangan ekonomi modern, bahkan berdasarkan analisa para pemikir ekonomi muslim kontemporer, Adam Smith dengan karyanya “The Wealth of Nation” sangat dipengaruhi oleh pemikiran Abû ‘Ubaid dalam Kitâb al-Amwâl ini, padahal jarak antara keduanya cukup jauh. Tugas peneliti dan pemikir selanjutnya adalah menggali kembali khazanah fikih klasik yang lain sehingga dapat dimaknai nilainya dan diaplikasikan ke dalam konteks kehidupan saat ini.

Written by H.Ridjaluddin F.N
__________________

 DAFTAR BACAAN

Abdul al Wahhab ibn Ali, Taj al-Din, Tabaqat al Syafi’iyah al Kubra, vol. II, Beirut: Dar al Ma’rifah, t.t.

Al-Awdiy, Rifa’at, Min al-Turast al-Iqtishadi li al-Muslimin, (Kuliah Tijarah-Jami’ah al Azhar), Mekah: Mathba’ah Rabithah al ‘Alam al Islami, t.t.

Al-Qasim ibn Salam, Abu Ubaid, Kitab al Amwal, Beirut: Dar al-Fikr, 1408 H/1988

Al Ramhurmudzi, Hasan ibn Abd. Rahman, Al-Muhaddith al-Fasil bain al-Rawi wa al-Marwi, Beirut: 1971

Bosworth, CE., Dinasti-dinasti Islam, Bandung: Mizan, 1993

Dzazuli, A., Ilmu Fiqh (Sebuah Pengantar), Bandung: Orba Shakti, 1991

Gottschalk, Hans, Abu Ubaid al-Qasim ibn. Salam. Studie zur Geschicte de Arabischen Biographie, Der Islam 13, 1936: 245-289, dalam tulisan Cengiz Kallek, Abu Ubaid Economic Thought, Kuala Lumpur:: Associate Professor, International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1977

Hasan Basri, Cik, Aspek-aspek Sosiologis Hukum Islam di Indonesia, dalam Cik Hasan Basri [ed.] Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Jakarta: Logos, 1998

Mudzar, Atho, Pendekatan Sejarah Sosial dalam Pemikiran Hukum Islam, Artikel pada Mimbar Hukum,, Jakarta: Departemen Agama, 1992, h. 20

-----------------, Pengaruh Faktor Sosial Budaya terhadap Hukum Islam, dalam Cik Hasan Basri [ed.] Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, , Jakarta: Logos, 1998

Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, cet. ke-4

----------------------, Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1985, jilid II

Perwataatmadja, Karnaen, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Diktat kuliah pada Fakultas Syari’ah, 2000/2001

Siddiqi, M. Nejatullah, Islamic Economic Thought: Recent Works on History of Economic Thought in Islam, a Survey, Reading in Islamic Thought, Malaysia: Longman, 1992

Yafie, Ali, Menggagas Fiqh Sosial, Bandung: Mizan, 1994

Post a Comment for "Pandangan Ekonomi Abû ‘Ubaid"