Loving is Flying
Loving is Flying? Waah,, kok bisa?
Bisa lah! Setidaknya itulah makna "loving" yang aku pahami dari kejadian yang ku alami baru-baru ini. Berawal dari perkenalan singkat dengan dua orang bapak-bapak pada 24 Maret 2013 yang lalu dalam sebuah perjalanan udara yang memakan waktu 60 menit dari Bandara Internasional Minangkabau menuju Polonia Medan. Naah lho,, bukannya waktu yang diperlukan terbang dari Padang ke Medan normalnya cuma 45 menit? Bingung??. Saya akan coba memaparkannya dalam bahasa yang semudah-mudahnya pada beberapa paragraf berikut ini. ^_*
Setelah 30 menit menyusuri jalanan Kota Padang akhirnya saya bisa menginjakkan kaki di BIM tepat pukul 16.05 WIB. Hmm,, baru 5 menit yang lalu check in dibuka untuk penerbangan menuju Medan. Bagus! datang lebih awal setidaknya lebih aman, terhindar dari peristiwa tragis ditinggal pesawat, hehehe.
Cuaca sore itu kurang bersahabat, sekalipun waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 WIB., tetapi sinar matahari masih saja terik. Masih satu jam lagi sebelum menaiki pesawat, akhirnya ku putuskan untuk membeli beberapa minuman dingin untuk menghabiskan detik-detik paling membosankan di ruang tunggu.
Singkat cerita, aku sudah berada di dalam pesawat yang sebentar lagi akan membawaku ke ranah para pembalab (sering kita mendengar istilah "sopir medan"), bersandar di kursi 17 B memperhatikan penumpang yang sedang sibuk merapikan barang bawaannya.
Pesawat mulai mengambil ancang-ancang, kemudian berlari sekencang-kencangnya, perlahan tapi pasti membawaku ke ketinggian 35000 kaki di atas permukaan laut.
"Waah tampaknya cuaca kurang bersahabat ya," sebuah suara dari sisi kananku mencoba mengajak bercengkrama. Selang beberapa menit kami sudah terlibat dalam obrolan hangat tentang asal-usul, hobi, dan profesi.
Bang Adi begitu sapaannya, harus bolak-balik Padang-Medan untuk memantau perkembangan kondisi orangtuanya di salah satu rumah sakit di Bukittinggi. Penyakit stroke yang diderita orangtuanya sejak 6 bulan yang lalu membuatnya harus terbang setiap Jumat sore dan kembali lagi ke Medan pada Minggu sore. Suatu pengorbanan yang patut diacungi jempol.
"Waah tampaknya cuaca kurang bersahabat ya," sebuah suara dari sisi kananku mencoba mengajak bercengkrama. Selang beberapa menit kami sudah terlibat dalam obrolan hangat tentang asal-usul, hobi, dan profesi.
Bang Adi begitu sapaannya, harus bolak-balik Padang-Medan untuk memantau perkembangan kondisi orangtuanya di salah satu rumah sakit di Bukittinggi. Penyakit stroke yang diderita orangtuanya sejak 6 bulan yang lalu membuatnya harus terbang setiap Jumat sore dan kembali lagi ke Medan pada Minggu sore. Suatu pengorbanan yang patut diacungi jempol.
Obrolan kami rupanya menarik perhatian Pak Ari yang duduk di sisi kiriku, tepatnya di kursi 17 C yang langsung bersebelahan dengan jendela. Seandainya bisa memilih, aku sangat menyuka posisi tempat duduk yang kini ditempati Pak Ari. Mengapa? Ya.. karena bisa menikmati pemandangan apik yang terpampang di luar sana.
Gugusan awan putih, birunya langit, dan panorama tanpa batas adalah salah satu view favoritku, suasana yang sudah lama tidak ku dapatkan sejak disibukkan dengan kehidupan baruku ini. Yahh,, naik gunung adalah salah satu hal unik yang ku lakukan untuk menghabiskan waktu senggang yang ku miliki saat masih duduk di bangku kuliah, meskipun tidak rutin, tetapi 4 kali merasakan sensasi berada di puncak dunia adalah hal yang tidak akan pernah ku lupakan. hehehe.
Oya,, kembali ke laptop! Ini tentang Pak Ari, beliau sesekali menimpali obrolan antara aku dan Bang Adi, dan tak segan-segan untuk berbagi kisah hidupnya. Pak Ari adalah pria berusia 53 tahun yang baru saja sembuh dari penyakit stroke yang dideritanya 3 tahun yang lalu. Waah.. rupanya sebuah obrolan akan menjadi hangat jika ada kesamaan karakter, kisah, dan ideologi. Tak perlu waktu lama untuk membuat aku dan kedua pria dewasa ini "merasa" akrab.
Gugusan awan putih, birunya langit, dan panorama tanpa batas adalah salah satu view favoritku, suasana yang sudah lama tidak ku dapatkan sejak disibukkan dengan kehidupan baruku ini. Yahh,, naik gunung adalah salah satu hal unik yang ku lakukan untuk menghabiskan waktu senggang yang ku miliki saat masih duduk di bangku kuliah, meskipun tidak rutin, tetapi 4 kali merasakan sensasi berada di puncak dunia adalah hal yang tidak akan pernah ku lupakan. hehehe.
Oya,, kembali ke laptop! Ini tentang Pak Ari, beliau sesekali menimpali obrolan antara aku dan Bang Adi, dan tak segan-segan untuk berbagi kisah hidupnya. Pak Ari adalah pria berusia 53 tahun yang baru saja sembuh dari penyakit stroke yang dideritanya 3 tahun yang lalu. Waah.. rupanya sebuah obrolan akan menjadi hangat jika ada kesamaan karakter, kisah, dan ideologi. Tak perlu waktu lama untuk membuat aku dan kedua pria dewasa ini "merasa" akrab.
Lain halnya dengan Bang Adi yang bermarga, Pak Ari ternyata bukanlah orang asli Medan, tuntutan profesi lah yang membuatnya harus berjauhan dari keluarganya yang berada di Muko-muko, suatu daerah di Propinsi Bengkulu yang berbatasan dengan Propinsi Sumbar. Butuh perjalanan satu malam dari Muko-muko ke Padang jika memakai jasa Bus AKAP, dan itu tidak memupuskan hasrat Pak Ari untuk bertemu keluarganya. Suatu perjuangan yang sulit tentunya berjauhan dengan orang-orang terkasih.
Tampaknya penerbangan kali ini adalah perjalanan tentang cinta. Bukan cinta yang hanya berupa kata-kata pemanis bibir saja, tetapi lebih kepada pembuktian. Perjuangan yang memerlukan pengorbanan, baik waktu, tenaga, finansial, dan mental. Apalagi dalam situasi seperti ini, penerbangan dalam cuaca ekstrim membuat pesawat yang ku tumpangi beberapa kali gagal landing dan harus kembali naik ke atas, kemudian berputar-putar di udara beberapa kali. Hmm,, 15 menit yang panjang untuk dilewatkan.
ehm... :D
ReplyDeletekali pertama saiaa baca tulisan engkau orang.. hihihi.
pas kebagian dapet kisah begini pulak. alamak!
yaah,,, dibaca saja sista nimiasata... namanya jg oret2,, hehehe,,
ReplyDelete