Pesan Mimpi
Kemana semua orang?
Hanya makhluk berdiri tegak yang tak memiliki perasaan berkeliaran di kedua sisi jalan..
Aku hanya melihat seonggok daging yang ditopang tulang tapi tak lagi memiliki kasih sayang...
Tak lebih dari "alien" terbungkus kulit yang kehilangan spirit..."
Sepertinya mimpi buruk itu berulang-ulang menghampiriku, mengganggu lelap tidurku, padahal ingin rasanya beristirahat tanpa ada gangguan sedikitpun. Bukannya ingin bermanja-manja, tetapi beberapa minggu terakhir ini setumpuk masalah di meja kerja telah merenggut kemerdekaanku di siang hari, maka tak adil rasanya jika malam yang seharusnya menjadi ajang relaksasi terganggu dengan bayangan-bayangan tak jelas yang berasal dari dunia mimpi.
Oaghhh,,, teriknya sinar mentari yang mengintip dari celah ventilasi, pertanda hari baru telah tiba. Hari yang sama dengan hari-hari yang lalu, membuatku kembali terjebak dalam rutinitas semu yang menjemukan. Entahlah, rasanya kemerdekaanku dicuri, disimpan dalam sebuah kotak kecil kedap suara, sehingga tak seorang pun dapat mendengar meski aku berteriak dengan volume terbesar yang ku miliki.
Yaah, situasi gila ini telah menjadikanku tak lagi peka, tak lagi punya waktu untuk sekedar memperhatikan keadaan di sekitarku, bahkan aku tak lagi ingat siapa orang-orang yang tinggal di samping kontrakanku yang barusan tersenyum dan menyapaku. Hmm,, sejak kapan aku menjadi "primitif" yang mengusung jalan hidup hedonis dengan cita rasa individualisme yang kental?
Yaah, situasi gila ini telah menjadikanku tak lagi peka, tak lagi punya waktu untuk sekedar memperhatikan keadaan di sekitarku, bahkan aku tak lagi ingat siapa orang-orang yang tinggal di samping kontrakanku yang barusan tersenyum dan menyapaku. Hmm,, sejak kapan aku menjadi "primitif" yang mengusung jalan hidup hedonis dengan cita rasa individualisme yang kental?
Jalan Pahlawan yang penuh lobang dan tambalan ini menjadi saksi sejarah, sekaligus predator ulung yang setiap saat mengikis tapak sepatuku-yang permukaannya tak lagi rata-dalam mengarungi tiap jengkal jalan hidup yang monoton. Tak bisa ku bayangkan jika musim hujan datang, hanya butuh beberapa menit untuk membuat jalanan ini menjadi sungai kecil berlumpur dan kotor, sudah lama masyarakat Komplek Pelangi mengeluhkan kondisi selokan yang semakin dangkal, ditambah tumpukan sampah yang dibuang serampangan.
Seingatku baru beberapa hari yang lalu di tanah kosong yang terletak di sudut komplek ini beberapa pasangan yang akan berlaga di ajang Pemilihan Kepala Daerah mengumbar janji-janji manisnya. Aku berharap kali ini janji itu tak hanya sebatas bualan di siang bolong, sebab kawasan ini masih akan ku tempati hingga beberapa bulan ke depan.
Seingatku baru beberapa hari yang lalu di tanah kosong yang terletak di sudut komplek ini beberapa pasangan yang akan berlaga di ajang Pemilihan Kepala Daerah mengumbar janji-janji manisnya. Aku berharap kali ini janji itu tak hanya sebatas bualan di siang bolong, sebab kawasan ini masih akan ku tempati hingga beberapa bulan ke depan.
"Rambut kau itu sudah gondrong!! tak pantas bagi pelayan publik berpenampilan kumuh seperti dirimu!"
Inilah yang sering menjadi slogan di negeriku, "Nasib tidak bisa mengalahkan Nasab", meskipun adakalanya ada beberapa kasus yang berseberangan dengan slogan itu, kita anggap saja suatu pengecualian, persentasenya sangat kecil. Hmm.. nasib membawaku menjadi seorang bawahan, dan nasib bawahan adalah diomeli atasan, sekalipun atasanku tidak lebih berpengalaman daripada aku, Nasabnya sebagai putra salah seorang pemilik saham terbesar di tempat aku bekerja yang menjadikannya lebih superior.
Hahaha,,,akhirnya sore itu helai demi helai rambutku berguguran di tangan seorang tukang pangkas yang beroperasi di sebuah kios kecil di bawah fly over, persisnya di sebelah warung kecil tempat aku biasa menghabiskan beberapa lembar uang ribuan butut untuk membeli minuman dingin, kira-kira 800 meter dari rumah kontrakanku.
Hahaha,,,akhirnya sore itu helai demi helai rambutku berguguran di tangan seorang tukang pangkas yang beroperasi di sebuah kios kecil di bawah fly over, persisnya di sebelah warung kecil tempat aku biasa menghabiskan beberapa lembar uang ribuan butut untuk membeli minuman dingin, kira-kira 800 meter dari rumah kontrakanku.
Sore itu kios tampak ramai, beberapa penganguran muda bergelar sarjana dan pelajar sekolah menengah-yang tak jelas masa depannya- kongkow-kongkow di depan pintu masuk sedang membaca koran bekas sambil sesekali menyembulkan asap rokok. Mereka asik bercerita ngalor-ngidul tak tahu juntrungannya, sesekali tukang pangkas yang sedang "memutilasi" rambutku pun ikut menimpali pembicaraan mereka. Topik kali ini adalah tentang Pemilihan Kepala Daerah yang akan digelar 2 hari yang akan datang. Ada yang mendukung calon nomor urut 1, ada yang berpendapat calon nomor 5 lebih oke, dan tak sedikit yang mengatakan memilih untuk tidak memilih.
Aku tak habis pikir tatkala mendengar beberapa dari mereka dengan lantang mengatakan akan memberikan suaranya kepada siapa saja, asalkan dihargai dengan beberapa puluh ribu rupiah saja. Apa demokrasi ala indoneisa sudah demikian parah? dimiliki oleh orang-orang berdompet tebal yang seenak perutnya dapat membeli suara-suara rakyat yang merupakan pilar utama sistim ini dengan harga sampah? sungguh suatu pemahaman yang salah kaprah.
Ironis!, tapi apa mau dikata, mereka adalah orang-orang kecil yang putus asa dengan lingkungannya, pemimpinnya, negerinya, bahkan hidupnya sendiri. Suatu hasil dari fenomena kejamnya kehidupan dan ketidakadilan yang setiap hari menempa mereka menjadi pribadi-pribadi batu, keras dan tak lagi peka. Suatu pemandangan miris di salah satu sudut kecil di kota tempatku mengais rejeki.
Aku tak habis pikir tatkala mendengar beberapa dari mereka dengan lantang mengatakan akan memberikan suaranya kepada siapa saja, asalkan dihargai dengan beberapa puluh ribu rupiah saja. Apa demokrasi ala indoneisa sudah demikian parah? dimiliki oleh orang-orang berdompet tebal yang seenak perutnya dapat membeli suara-suara rakyat yang merupakan pilar utama sistim ini dengan harga sampah? sungguh suatu pemahaman yang salah kaprah.
Ironis!, tapi apa mau dikata, mereka adalah orang-orang kecil yang putus asa dengan lingkungannya, pemimpinnya, negerinya, bahkan hidupnya sendiri. Suatu hasil dari fenomena kejamnya kehidupan dan ketidakadilan yang setiap hari menempa mereka menjadi pribadi-pribadi batu, keras dan tak lagi peka. Suatu pemandangan miris di salah satu sudut kecil di kota tempatku mengais rejeki.
Menjelang maghrib, di persimpangan Jalan A. Yani menuju Jalan Pahlawan, aku mendapati beberapa anak muda sedang sibuk memasang sebuah tenda. Mereka sedang mempersiapkan Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang akan digunakan untuk pesta rakyat 2 hari yang akan datang, paling tidak itulah jawaban yang ku dapatkan. Hmm.. aku tak terlalu fokus dengan hal itu, lagi pula aku tidak mempunyai hak untuk memilih, beberapa bulan menempati kota ini tidak serta-merta menjadikanku terdaftar dalam daftar orang-orang yang diakui dan diberi hak untuk memilih. Yaah,, butuh biaya yang sangat mahal untuk mendapatkan pengakuan, apalagi dengan kondisi kantongku saat ini, suatu hal yang harus ku pikirkan berulang-ulang.
Beberapa minggu berlalu, suasana kota kacau berantakan, bisa dibilang nyaris hancur tak berbentuk. Yaah,, beberapa pekan ini massa dari pendukung calon kepala daerah yang tidak terima dengan kekalahannya mengamuk, membakar kantor KPUD dan sejumlah pos pemenangan calon yang lolos, menjarah beberapa mini market ternama yang telah lama merampas lahan usaha pemilik warung-warung kecil, dan beberapa peristiwa gila yang tidak bisa diterima logika, bahkan kantor yang selama ini merenggut kemerdekaanku pun tak luput dari amuk massa. Langit yang dulu biru kini telah bercampur abu. Lalu lintas tak terkendali, banyak kendaraan yang melibas kendaraan lainnya, hancur berkeping-keping. Teriakan-teriakan penuh amarah, umpatan, tangis ketakutan, memekakkan telingaku, memenuhi isi kepalaku. Chaos, situasi benar-benar gilaaaa!!!
"Aku berada dimana?
Kemana semua orang?
Hanya makhluk berdiri tegak yang tak memiliki perasaan berkeliaran di kedua sisi jalan..
Aku hanya melihat seonggok daging yang ditopang tulang tapi tak lagi memiliki kasih sayang...
Tak lebih dari "alien" terbungkus kulit yang kehilangan spirit..."
Oaghhh,,, teriknya sinar mentari yang mengintip dari celah ventilasi,
pertanda hari baru telah tiba. Hari yang sama dengan hari-hari yang
lalu, membuatku kembali terjebak dalam rutinitas semu yang menjemukan. Sepertinya mimpi buruk itu berulang-ulang menghampiriku, mengganggu
lelap tidurku. Hmm.. syukur itu hanya halusinasi, mimpi buruk yang beberapa minggu ini melabrak ketentraman malamku.
Aku selalu berharap kenyataan tidak lebih buruk..
Post a Comment for "Pesan Mimpi"